Lihat ke Halaman Asli

Ridwan Hasyimi

Pekerja Seni

Melacak Ambu Wandu

Diperbarui: 25 Januari 2022   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bissu Dewata (https://commons.wikimedia.org/wiki/File: Bissu_Dewata_(130208529).jpeg)

Beberapa budaya di Nusantara punya cara pandang khas mengenai gender. Tidak seperti cara pandang gender yang biner pada umumnya, kebudayaan tersebut punya ruang bagi gender selain perempuan feminim dan laki-laki maskulin. Yang paling masyhur, tentu saja, budaya Bugis. 

Bangsa yang banyak bermukim di Sulawesi Selatan itu membagi masyarakatnya ke dalam lima gender: oroane (laki-laki maskulin), makarunai (perempuan feminim), calalai (perempuan berpenampilan laki-laki/maskulin), calabai (laki-laki berpenampilan perempuan/feminim), dan bissu (bukan keempatnya sekaligus gabungan keempatnya).  

Tidak hanya Bugis, fluditas gender juga terdapat pada tradisi Lengger Lanang di Banyumas, Reog Ponorogo dengan warok-gemblaknya, tari Rateb Sadati asal Aceh, dan sejumlah tradisi lain.[i] Ekspresi gender mereka dilakukan bahkan secara performatif dalam bentuk kesenian alih-alih sembunyi-sembunyi. 

Dalam beberapa tradisi, para transgender tersebut bahkan menempati posisi yang terhormat dalam struktur sosial masyarakatnya. Akar dari fenomena ini adalah cara pandang pemilik budaya tersebut atas dunia dan kehidupan. Mereka memandang dunia dan kehidupan tidak  dengan kaca mata oposisi biner. 

Di antara yang berseberangan, pasti ada ruang antara. Ruang inilah yang dipandang mengandung sakralitas. Dalam konteks makrokosmos, ruang antara ini adalah axis mundi antara dunia manusia (profan) dan dunia dewata (sakral). 

Dalam konteks gender seperti yang terdapat dalam budaya Bugis, gender antara laki-laki dan perempuan justru yang paling dihormati. Dialah bissu, semacam shaman yang diyakini dapat menghubungkan manusia dengan dunia roh.

Fenomena transgender pada tradisi Nusantara agaknya tidak setenar di dunia hiburan. Waria, banci, atau wandu menjadi sosok yang kerap kali sengaja dihadirkan di panggung hiburan demi mengundang gelak tawa. Sebagian orang ada yang merasa takut dan jijik. Sebagian lain merasa terhibur dengan tingkahnya yang dianggap kocak dan lucu.

Pada masyarakat Sunda hari ini, kehadiran transgender di panggung hiburan mudah ditemukan di  acara pesta pernikahan. Dewasa ini, Karasmen Mapag Pangaten (KMP) atau yang kini umum disebut Upacara Adat Mapag Panganten (UAMP) sering kali menghadirkan tokoh Ambu yang diperakan oleh laki-laki. 

Ambu merupakan tokoh istri Lengser. Mulanya yang memerakan biasanya perempuan tulen. Mulanya, Ambu digambarkan sebagai seorang nenek-nenek. Tentu saja, sebab suaminya pun, Lengser, digambarkan sebagai kakek-kakek. Namun, kini telah banyak Ambu yang berpenampilan jauh dari kesan nenek-nenek. 

Makin banyak pula Ambu yang diperankan oleh laki-laki alias Ambu Wandu. Mereka berdandan dan berbusana layaknya waria pada umumnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline