“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum,” kutipan M.A. W. Brouwer menghiasi dinding di ruas Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. Namun, sepertinya Tuhan sedang tidak tersenyum melihat jalan-jalan kota berjulukan Parijs van Java ini. Saling mengumpat, keluhan, kerutan dahi, dan kekhawatiran warga menggambarkan betapa padatnya Bandung saat ini.
Kemacetan mengakibatkan frustasi yang berdampak pada kurangnya empati kepada pengguna jalan lainnya. Penulis pernah menulis pada media sosial “Selain kerukunan antar umat beragama, warga Bandung perlu kerukunan antar umat berkendara,”
Kemacetan merupakan masalah fundamental kota ini selain banjir. Hal wajar jika Walikota Bandung Ridwan Kamil dalam janji politiknya yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandung menuliskan Bandung Resik, salah satu poinnya Bebas Macet dalam empat tahun. Kurang dari sembilan bulan, apakah Ridwan Kamil dapat menepati atau mengingkari janji politiknya?
Sebelum menagih janji, perlu dikaji indikator bebas macet itu bagaimana, lalu diinformasikan kepada publik. Jangan sampai peristiwa Maret 2016 terulang kembali. Di mana Survei Persepsi Masyarakat terhadap Pembangunan Kota Bandung yang dilakukan Bappeda Kota Bandung dan LQC Departemen Statistik Universitas Padjadjaran menuai kritik.
Hasil survei yang menyatakan kemacetan Kota Bandung dianggap wajar, dirasa tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. (Baca – Pikiran-rakyat.comedisi 4 Maret 2016 https://goo.gl/kJF6wi)
Meningkatnya kemacetan Kota Bandung bukan berarti pemerintah kota berdiam diri. Beberapa pembangunan infrastruktur di antaranya pembangunan fly over Antapani, pembetonan Jalan Kiaracondong, skywalk Cihampelas, perbaikan trotoar di beberapa ruas seperti Jalan Riau dan Dago, dan sebentar lagi akan dibangun Lighr Rail Transit dan gedung parkir.
Tidak hanya itu, Pemerintah Kota Bandung juga membuat trayek baru serta penerapan sistem e-ticketing angkutan Trans Metro Bandung (TMB) pada awal 2016.
Namun sayangnya, dinilai tidak efektif dilihat dari tidak konsistennya operasional angkutan, headway atau jarak waktu kedatangan bus, terbengkalainya shelter serta sistem e-ticketing yang tidak berfungsi. Perhitungan pola distribusi dan keuangan bukan masalah utama TMB, namun bagaimana menjadikan TMB alternatif utama transportasi warga kota.
Selain TMB, moda-moda angkutan baru seperti Bus Sekolah dan Bandung Tour on the Bus pun diciptakan. Alih-alih mengurangi kepadatan, angkutan umum malah meningkatkan jumlah kendaraan di jalan kota. Beradu dengan Angkutan Kota (angkot) dan kendaraan pribadi. Ridwan Kamil sendiri mengakui dari total jumlah penduduk, hanya 20% yang menggunakan angkot.
Penertiban pedagang kaki lima (PKL) menjadi bagian upaya mengatasi kemacetan. Jalan Merdeka, Purnawarman, Dalem Kaum, Pasar Baru dan beberapa jalan lainnya menjadi sasaran penertiban PKL. Mengorbankan kehidupan mayoritas kelas menengah bawah, kemacetan pada titik-titik penertiban pun dinilai kurang efektif, masih terjadi kemacetan.
Pembangunan infrastruktur yang di antaranya memperlebar dan menambah ruas jalan, moda transportasi umum juga penertiban PKL apakah akan membantu Ridwan Kamil memenuhi janji politiknya Juni 2017 mendatang? Meragukan jika itu saja. Dalam memenuhi janji ‘Bebas macet 4 tahun’, Selain pembangunan secara materi, Pemerintah Kota Bandung penting dalam membangun manusia dalam mengatasi kemacetan.