Sesosok perempuan berjalan dengan kepala tertunduk, tak ada gairah, seperti hidupnya sudah habis. Dengan rambut panjangnya, yang terkadang menutupi wajahnya, sebenarnya dia bisa saja mendapatkan lelaki mana pun yang ia inginkan. Tetapi, di jalan ini, dia hanya berjalan sendiri dan menangis. Di sisi jalan, di tempat makan lesehan, dia melihat sepasang kekasih yang begitu serasi menurutnya. Saling menyuapi, saling menatap, dan tertawa bersama, dia rindu saat-saat seperti itu dengan kekasih lamanya.
Perempuan berpakaian serba hitam itu berjalan menuju sebuah gapura desa, dia masuk ke dalam desa itu. Jalan desa begitu sangat sepi, belum lagi pohon-pohon tinggi dan banyak, membuat suasana sedikit seram dan sunyi. Lampu masih jarang di desa itu, hanya cahaya bulan yang masih bisa menerangi jalan di desa itu. Beruntunglah, hari itu cuaca sedang baik, bulan tak tertutupi oleh kumpulan awan.
Di sebuah pohon, dia sekilas seperti melihat sesosok mahluk yang entah apa itu. Dia menutup matanya, kemudian melihat pohon itu lagi, tak ada apa pun yang dia lihat selain pohon, mungkin hanya halusinasinya saja. Ketika dia hendak meneruskan perjalanan, tiba-tiba mahluk dengan penampilan serba putih ke luar dari balik pohon tadi.
“Pocong?” Dia merasa heran dan sangat kaget, ini baru pertama kalinya dia melihat mahluk yang orang banyak memberi nama pocong. Tubuhnya sangat bergemetar, tetapi tak ada keinginan untuk lari. Ini adalah pertama kalinya dia melihat pocong, mahluk yang selalu diceritakan banyak orang, dan dianggap tidak ada oleh orang-orang yang lainnya. Apa yang harus dia lakukan? Dia hanya berdiam di tempat itu dan mulai menenangkan dirinya.
“Hendak pergi ke mana kamu nona?” Pocong itu bertanya pada perempuan yang terlihat sangat manis itu.
Apakah perempuan itu harus menjawabnya? Atau apakah dia benar-benar telah mendengarkan pocong itu bertanya? Iya, dia mendengar dengan jelas bahwa pocong itu berbicara kepadanya. Kapan lagi dia bertemu dengan pocong? Menurutnya ini kesempatan langka, meski pun awalnya takut, perempuan itu berusaha untuk berbicara dengan pocong itu dan mendekatinya.
“Aku hendak pergi ke rumah orang tuaku, di desa ini. Mereka pasti sudah rindu ingin bertemu denganku, aku sudah lama tidak berjumpa dengan mereka.” Perempuan itu melihat pocong dan melihat sekeliling pohon tadi.
Pocong itu hanya tersenyum, dan melihat perempuan tadi, dia sangat bahagia karena perempuan tadi menjawab pertanyaannya. Pocong itu mengajak perempuan tadi untuk duduk di bawah pohon yang selama ini selalu menjadi tempat diamnya.
“Kenapa kamu tidak takut melihatku?” Pocong mulai menyandarkan tubuhnya pada pohon besar itu.
“Takut? Kenapa harus takut? Awalnya iya, mungkin aku takut dan kaget. Tetapi, setelah aku pikirkan, jika aku takut padamu, berarti aku telah takut pada sesuatu selain Tuhan. Dan jika itu terjadi, itu sangat berbahaya bagiku.”
“Terima kasih sudah mau duduk di sampingku. Jika ini pertama kalinya kamu bertemu dengan pocong, aku sangat berkesan sekali, karena menjadi pocong pertama yang dilihat olehmu.” Pocong itu tertawa kecil.
“Kamu terlihat seperti tidak seseram apa yang banyak orang bicarakan.”
“Jangan pecaya pada orang banyak. Mereka hanya menginginkan apa yang mereka ingin dengar, dan itu dengan cepat akan menjadi teori yang berlaku secara umum. Sebenarnya ada satu hal lagi yang pasti membuatmu tak takut kepadaku.”
Perempuan itu melihat wajah pocong itu, kemudian dia tersenyum. “Ya, kukira kamu sudah tahu mengapa.”
“Apakah kamu kuntilanak?”
“Ya, selama ini aku dianggap bergentayangan oleh banyak orang. Tetapi aku hanya ingin menikmati dunia yang luas ini. Selama menjadi manusia, aku tak pernah pergi ke banyak tempat, termasuk ke desa ini, jarang sekali. Oleh karena itu, ketika menjadi kuntilanak, aku habiskan waktuku untuk pergi ke banyak tempat.”
“Aku pun sama. Selama hidup, aku hanya berkutat pada hal-hal yang material, yang ternyata baru aku sadari ketika aku mati, bahwa semuanya itu tak ada artinya. Mobil yang selama ini aku inginkan, dan aku hidup untuk mendapatkan itu, akhirnya sekarang tidak ada untukku. Eh, apakah aku boleh tahu namamu?”
“Namaku Rani, kamu?”
“Indahnya. Dan entah ini kebetulan atau bukan, namamu hampir mirip dengan namaku, namaku Rano.”
“Cong, mengapa kita saat ini menjadi seperti ini ya?”
“Maksud kamu?”
“Ya, mengapa aku menjadi kuntilanak dan mengapa kamu menjadi pocong. Setidaknya, jika kita menjadi vampir atau drakula, sedikit lebih elegan, kebanyakan mereka masih memakai jas.”
“Aku lupa menanyakan sesuatu padamu. Sebelum kujawab pertanyaan tadi, aku ingin tahu kenapa pakaian kamu serba hitam seperti itu? Bukannya kuntilanak berpakaian serba putih?”
“Aku hanya bosan saja. Dan hitam adalah warna kegemaranku. Sudah berapa lama kamu menjadi pocong? Selama itu, ketika kamu melihat kuntilanak, apakah kamu tidak bosan, melihat mereka dari semenjak dulu, pakaiannya hanya berwarna putih saja? Selama aku hidup, aku tidak banyak membuat perubahan untuk dunia manusia, oleh karena itu, saat menjadi kuntilanak ini, aku tidak ingin mengulangi hal yang sama. Aku ingin berarti untuk dunia perkuntilanakkan.” Rani tertawa, dan giginya terlihat sangat unik, dia memiliki dua gigi gingsul.
“Aku tak pernah meminta untuk menjadi pocong. Tapi akhirnya, aku harus menjadi pocong, yang sulit untuk berlari. Bahkan tanganku saja tidak bisa bergerak. Dalam kondisi seperti serba diikat ini, aku heran, masih saja ada manusia yang takut padaku, padahal tangan dan kaki mereka bebas, kapan saja bisa memukulku jika mereka mau.”
“Cong, kenapa jadi membicarakan itu? Bukannya tadi aku menanyakan sesuatu padamu?”
“Oh, itu. Itu seperti kamu terlahir di Indonesia. Jika kamu terlahir di Indonesia, kulitmu pasti akan berwarna. Kamu terlahir di Indonesia Barat atau Tengah misalnya, kulitmu akan berwarna kuning terang atau sawo. Jika kamu terlahir di Indonesia Timut, kulitmu akan berwarna gelap. Apakah kamu bisa merubah itu semua?”
“Kurasa tidak bisa, itu sudah hukum alam seperti itu. Orang yang lahir di Afrika tentunya akan berkulit gelap, sedangkan di Eropa Utara misalnya, akan berwarna terang. Dan tentunya kita tidak bisa menyalahkan semuanya itu. Semuanya harus dipandang sama tanpa hanya melihat warna kulit.”
“Seperti itu juga kehidupan di dunia kita. Jika kamu lahir dan hidup, kemudian meninggal di luar negeri sana, kamu mungkin akan menjadi vampir atau drakula. Sementara jika di Indonesia, kamu akan menjadi seperti ini, kuntilanak, pocong, tuyul, atau yang lainnya. Setiap daerah memiliki kekhasannya sendiri-sendiri. Seperti bahasa saja, bahasa kita pasti akan berbeda dengan bahasa orang yang tinggal sangat jauh dari kita.”
“Aku sangat mengagumimu sebenarnya. Dalam kondisi tubuhmu seperti tidak bebas itu, serba diikat, kamu masih saja tetap semangat. Bahkan, kamu sempat-sempatnya mengganggu perjalananku malam ini.”
“Ya, dan aku sangat kesal ketika melihat manusia. Manusia yang sejatinya sangat bebas, ada saja yang suka mengeluh kepada Tuhan mereka, ada juga yang kerjaannya malas-malasan, bahkan ada pula yang merusak alam, bahkan merusak bangsa ini. Aku terkadang selalu berpikir, mengapa Tuhan tidak memanggil orang-orang itu secepatnya saja.” Pocong itu tertawa dan merebahkan tubuhnya di atas rumput, kemudian melihat bintang-bintang di antara dedaunan pohon besar itu.
Rani ikut merebahkan tubuhnya di samping pocong itu, kemudian melihat langit yang dihiasi oleh banyak bintang. Kemudian mulutnya mulai berujar, “Sayang sekali jika manusia tidak merasakan keindahan ini. Keindahan semesta. Mereka terlalu sibuk dengan hal-hal yang mereka buat sendiri.”
“Aku pernah berpikir, apakah mungkin hantu bisa berpacaran dengan hantu. Menurutmu bagaimana?” Pocong itu berlaku seolah-olah menarik napas, tarikan napas yang ketika ia menjadi manusia sulit untuk didapatkan, kebebasan.
“Apakah menurutmu cinta bisa disekat? Bahkan sekarang aku sedang jatuh cinta dengan seorang laki-laki, dan dia seorang manusia.”
“Apa? Apakah itu sungguhan?”
“Apakah cinta harus dilarang? Aku selama ini tinggal di rumahnya, aku tinggal di kamarnya. Jika dia sedang tidur, aku pun ikut tidur di sampingnya. Jika dia sedang ke luar rumah, aku selalu menemaninya. Dia manusia yang baik sekali. Andai saja aku masih seorang manusia, aku pasti akan mengejarnya hingga mendapatkannya. Tapi bagaimana lagi, aku kuntilanak dan aku tidak pernah tahu apakah dia tahu ada mahluk yang sangat benar-benar menyayanginya dan peduli kepadanya.”
“Apakah lelaki itu sudah menikah?”
“Belum, dia belum menikah. Aku selalu dengannya sejak dia masih SMP, hingga kini, ketika dia menjadi seorang mahasiswa. Dan aku heran, mengapa dia belum pacaran, padahal banyak sekali perempuan yang dia temui.”
“Apakah kamu pernah merasakan bahwa dia tahu keberadaanmu?”
“Sepertinya tidak. Tapi aku tidak tahu juga, karena dia terkadang merasa seolah-olah ada seseorang di sampingnya.”
“Dia mungkin sudah mengetahui keberadaanmu.”
“Jika mengetahui keberadaanku mungkin tidak, tapi sepertinya dia merasakan kehadiranku dalam hidupnya. Aku sangat senang ketika melihat dia beribadah, itu membuatku mengingat Tuhan. Dia menjalani apa yang telah ditugaskannya, beribadah. Dan aku pun harus menjalani apa yang telah ditugaskan padaku, memberikan bisikan-bisikan pada manusia. Terkadang aku dilema ketika membisikkan sesuatu padanya, ada perasaan senang dan sedih. Sedih karena aku gagal sebagai hantu yang membisikkan sesuatu padanya. Senang, karena aku bahagia dia tidak menggubris apa yang aku bisikkan. Dan celakanya, aku diam-diam sudah menjaganya.”
“Luar biasa sekali kehidupanmu. Penuh dengan hal-hal yang menarik dan menantang.”
“Bukan hanya aku saja yang bisa seperti itu, jika kamu mau kamu bisa menghiasi sisa-sisa keberadaanmu di sini dengan berbagai macam hal yang menurutmu menarik dan indah.”
Di atas pohon itu, tiba-tiba mereka berdua melihat dua mahluk yang terlihat asing bagi mereka. Mahluk yang satu berjas dan sangat rapi, apalagi dengan jubah hitamnya. Mahluk yang satu, memiliki rambut panjang yang diikat.
“Kenapa ada vampir dan drakula di pohon ini?” Pocong itu masih melihat kedua mahluk di atasnya.
“Maaf, apakah aku boleh turun dan bergabung sebentar bersama kalian?” Vampir itu mulai berbicara.
“Tentu saja.” Kuntilanak mulai duduk di bawah pohon itu.
Keempat mahluk itu duduk di bawah pohon besar itu, dan drakula akhinya mulai membuka pembicaraan.
“Negeri apakah ini? Alamnya sangat indah sekali. Berbeda sekali dengan tempatku, penuh gedung-gedung pencakar langit yang tak beraturan. Di sini, meski pun banyak gedung pencakar langit, tetapi tertata dengan sangat baik. Apalagi, di sini alam sangat diberi kebebasan, ruang hijau dan lingkungan alam benar-benar diperhatikan. Aku ingin tinggal di sini.”
“Mengapa mereka bisa bahasa kita?” Kuntilanak berbisik pada pocong.
“Mungkin mereka tahu diri, mereka harus menyesuaikan bahasa mereka dengan bahasa di mana mereka berada.”
“Negeri ini memang indah tuan, bahkan terindah di seluruh dunia.” Pocong tiba-tiba berbicara seperti itu. Meski pun dia tahu kondisi di negerinya sangat mengecewakan, tetapi di hadapan mahluk asing ini dia sangat ingin membanggakan negerinya.
***
“Kamu sedang apa za?” Rendi ke luar dari kamar mandi dan memberikan handuknya pada Reza.
“Menulis cerpen ren.”
“Cerpen? Mana coba aku lihat.”
Rendi membaca cerpen itu dengan cepat dan kemudian dia tertawa.
“Cerita hantu? Sudah tahun 2014 kamu masih cerita tentang hantu? Buka matamu lebar-lebar za! Sudah, kamu cepat mandi saja, kita berangkat lima belas menit lagi. Ini kopi aku minum ya!” Rendi meminum kopi Reza.
“Habis mau menceritakan apalagi, hanya itu yang ada di otakku.”
“Ya hasil selama ini kamu kuliah, tuliskanlah. Kamu memang selama ini tidak mendapatkan apa-apa di kampus? Pasti adakan yang menyangkut sedikit di otakmu itu? Tapi ini di akhir cerpen ini, aku ingin tertawa za.”
“Kenapa?”
“Kamu ini imajinasimu terlalu sekali. Mana ada hantu lokal dan hantu asing, berdiskusi tengah malam di bawah sebuah pohon, seperti mau bergadang saja mereka. Atau, apakah mereka semua kebagian jadwal ronda?” Rendi tertawa dan melihat Reza meninggalkannya dan berjalan menuju kamar mandi.
Rendi kembali meminum kopi. Dia mengambil tasnya dan memasukkan buku-buku yang hari ini harus dibawanya. Ketika dia melihat cermin, dia seperti melihat seorang perempuan yang berada di dekatnya. Dia melihat ke arah sekelilingnya, tidak ada apa-apa. Tapi jelas penglihatannya tidak salah, ini baru pagi hari, matanya belum lelah. Tapi jika di cermin tadi ada perempuan, di manakah dia? Siapa dia? Akhirnya Rendi hanya berteriak dari luar kamar mandi kepada Reza.
“Reza, cepat mandinya!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H