Lihat ke Halaman Asli

Menyikapi Demo Menolak Ulil di UIN Bandung

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari senin, tanggal 5 Mei 2014, telah terjadi demo di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Demo ini dilakukan oleh beberapa mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai Aliansi UIN SGD Bandung Tanpa JIL. Demo ini bermula ketika BEM jurusan Perbandingan Mazhan dan Hukum (PMH) akan memperingati acara milad jurusan mereka yang ke-19. Dalam rencana panitia pelaksana acara, mereka akan menghadirkan Ulil sebagai narasumber. Menurut panitia acara, Ulil merupakan tokoh yang tepat untuk membahas masalah Fiqh. Tetapi, beberapa hari sebelum acara pelaksanaan, di sosial media telah menyebar berita akan dilakukannya demo jika Ulil tetap datang ke kampus UIN Bandung. Bahkan, kabarnya ketua panitia pelaksana banyak mendapatkan ancaman dan kecaman melalui ponsel pribadinya.

Sebagai salah satu orang yang menempuh ilmu di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya berhak mengklaim diri sebagai mahasiswa UIN Bandung. Yang demo saja mengklaim diri sebagai mahasiswa UIN, mengapa saya tidak? Bahkan hampir setiap hari saya belajar di UIN. Awalnya saya enggan mengomentari masalah ini, sebenarnya masalah apa pun yang merupakan urusan orang lain, bukan urusan saya, saya malas untuk mengomentarinya. Tetapi, untuk masalah ini, saya merasa perlu untuk menyikapinya, entah karena apa, mungkin di akhir tulisan ini akan muncul alasannya sendiri.

Pertama-tama, kita harus melihat mengapa demo ini terjadi. Menurut kabar yang saya dapatkan dari media-media yang melakukan interview langsung dengan pendemo, setidaknya ada beberapa hal yang memicu terjadinya demo ini.

1.Pendemo takut kampus yang katanya milik mereka dikotori oleh paham-paham liberal.

2.Pendemo tidak menyukai JIL, yang konon katanya sangat mendukung Yahudi dan memojokkan Islam.

Sebelum demo ini terjadi, ada organisasi intern kampus yang mengkhawatirkan kedatangan Ulil. Organisasi ini bisa dibilang Islam permukaan, Islam mereka hanya sebatas pada simbol, begitu menurut saya. Dakwah diartikan dalam arti yang sangat sempit. Selain organisasi intern ini, ternyata setelah saya melihat foto-foto orang yang berdemo, mereka merupakan salah satu kader dari organisasi ekstra kampus yang bernuansa Islam, yang lagi-lagi menurut saya Islamnya Islam simbol atau permukaan. Organisasi ekstra dan intern ini sebenarnya tidak jauh dan tidak lepas dari salah satu partai politik Islam.

Mereka-mereka ini menganggap Ulil berbahaya, sedangkan ustadz-ustadzan yang melahirkan teroris-teroris, tidak dianggap bahaya. Jelas toleransi di kampus ini sudah tidak ada. Jangan bicarakan mengenai kebebasan berpendapat atau beragama, karena di mana-mana yang mayoritas dan yang keras yang selalu menang.

Sebenarnya, saya kecewa dengan kejadian kemarin. Kenapa? Sebelumnya, sebagai mahasiswa Aqidah dan Filsafat, saya tentunya lebih mendapatkan porsi lebih dalam materi kuliah mengenai aqidah, begitu juga dengan filsafatnya. Di dalam filsafat post-modern, kebenaran tidak hanya tunggal, tetapi plural. Berbeda dengan filsafat modern yang aliran-aliran pemikirannya hanya menganggap diri mereka yang benar, yang lain salah dan keliru. Di dalam agama, apakah kebenaran harus tunggal atau plural? Jika ada seekor gajah, apakah pemahaman kita akan sama mengenai gajah itu? Saya hanya melihat telinganya, anda memegang ekornya, dan yang lain melihat kakinya, apakah mungkin pemahaman kita mengenai gajah sama?

Agama tidak bisa dilihat dan didekati oleh satu sudut pandang saja. Apalagi, mengenai kebenaran agama, apakah mungkin hanya bisa disimpulkan oleh satu kelompok atau satu aliran tertentu dan langsung mengatakan yang lain sesat dan keliru? Mereka langsung mengatakan agama merekalah yang benar, yang lain salah. Apakah cara beragama seperti ini masih bisa diterima? Di dalam Fiqh saja, mazhab ada banyak, setidaknya ada sepuluh, hanya saja yang terkenal dan sampai sekarang ada, hanya empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Fiqh saja tidak bisa hanya didekati dan diterima dari satu sudut pandang saja, tetapi ada banyak. Ini berarti, agama bisa mendapatkan pemahaman yang banyak pula, tergantung siapa yang memahaminya.

Mereka yang masih selalu merasa agama mereka paling benar, dan yang lain tentunya dianggap salah, apakah pernah mereka bermimpi bertemu dengan baginda Rasulullah Saw, dan beliau mengatakan “bahwa agamamulah yang paling benar, dan yang lain salah.” Pernahkah mereka bermimpi seperti itu? Atau mereka telah mendapatkan kepastian dari Tuhan bahwa agama merekalah yang paling benar? Yang saya khawatirkan adalah cara beragama teman-teman di kampus saya yang kuliah di jurusan umum. Mereka awam terhadap agama, dan seringkali merasa diri paling benar beragama ketika mendapatkan sedikit saja ilmu dari agama. Padahal, dalam beragama, sebenarnya mereka hanya bermodalkan dalil-dalil terjemahan dari Depag, bukan dari memahami sistem bahasa Arabnya langsung.

Sampai di sini, anggap saja saya tidak peduli dengan mereka orang awam beragama, atau mereka yang merasa paling benar, yang penting cara saya beragama. Yang saya tahu, sebagai mahasiswa Aqidah, Aqidah kita sudah kacau ketika kita takut dan khawatir pada selain Tuhan. Di atas, mereka takut hanya pada pemikiran, khawatir pada Ulil, menganggap kotor liberalisme, bukankah takut itu hanya harus pada Tuhan? Bagaimana aqidah mereka? Pemikiran, manusia yang membuat. Ulil juga seorang manusia, mengapa harus takut? Jika kita merasa agama kita paling benar, mengapa kita harus susah-susah menunjukkan bahwa kita paling benar? Apakah tidak yakin Tuhan melindungi kita? Aqidahmu bagaimana? Sebenarnya, pembahasan mengenai aqidah bisa lebih panjang lagi, jika kita takut tidak memiliki uang besok hari misalkan, bukankah kita sama saja telah meragukan Tuhan? Padahal Tuhan pemberi rizki, dan uang itu hanya salah satu dari apa yang kita sebut sebagai rizki.

Jauh hari sebelumnya, teman saya dengan bangga mengatakan dia telah menghadiri acara deklarasi anti Syiah. Saya hanya tersenyum, dan membatin dalam hati, “terus saya harus bagaimana?” Teman saya ini takut dan khawatir pada Syiah, lagi-lagi, takut pada sesuatu selain Tuhan. Jika dia menganggap agamanya paling benar, mengapa harus khawatir dengan agama yang lain? Apakah Tuhan tidak akan melindunginya? Jika agama dia benar, tentunya Tuhan tidak akan membiarkan agama itu lenyap dari bumi ini. Mengenai Sunni dan Syiah ini, sebenarnya sangat berpotensi untuk memecah belah umat Islam di seluruh dunia. Media-media Barat, dan media-media Islam sempalan di tanah air banyak membahas peristiwa di Syria sebagai konflik Sunni-Syiah. Apakah memang begitu? Amerika, yang kita tahu ditentang oleh rakyatnya sendiri saat menginvansi Irak, bukankah selalu memberikan kebijakan dengan standar ganda? Di satu sisi mengasihi, tetapi di sisi lain menyakiti. Bagaimana cara beraqidah teman saya ini, ketika di dalam hatinya masih terselip rasa benci? Bahkan benci terhadap sesama muslim. Iran yang mayoritas Syiah, merupakan satu-satunya negara yang berani dan terang-terangan membela Palestina dan menentang Amerika dan Israel. Palestina sendiri negara dengan mayoritas Sunni, tetapi pembela terdepan mereka adalah kelompok Syiah, sebagai diri yang merasa Sunni, tidakkah kita merasa malu? Apalagi berbicara harus memberantas Syiah, tidakkah pernah merasa otakmu telah diracuni?

Belakangan ini, saya bergurau, ternyata Arab Saudi selain sering menyiksa warga kita dan menyebarkan paham Wahabi, ternyata sekarang mereka menyebarkan virus. Ada orang yang saya cintai, ternyata dia merupakan salah satu anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI yang selama ini menggembar-gemborkan harus didirikannya Khilafah Islam dan menyerang sistem dan paham demokrasi di Indonesia, dan bahkan sangat anti Pancasila, menurut saya telah menelan ludah mereka sendiri. Mereka berteriak anti demokrasi, padahal dengan demokrasilah mereka masih bisa hidup di negeri ini. Andaikan saja pemerintah kita menganut paham fasis misalkan, mereka sudah tentu diberantas oleh pemerintah. Sayang, sudah dibiarkan hidup di negeri indah ini, mereka tidak tahu berterima kasih. Mereka menginginkan Indonesia harus memakai hukum Islam. Islam yang mana? Islam menurut siapa? Bukankah seperti yang sudah saya sampaikan, Islam itu banyak sekali pemahamannya? Menurutmu? Atau Islam menurut saya? HTI berasal dari orang luar negeri, jika Indonesia membuat mereka memimpin negeri ini dan berkuasa di negeri ini, sudah tentu membuat Indonesia kembali dijajah. Nenek moyang saya sudah berjuang memerdekakan negara ini, mereka hidup untuk melihat cucu-cucunya bisa tenang menikmati kemerdekaan, bukan kembali menghancurkan negeri sendiri. Jelas, saya tidak akan ikut pada golongan yang ingin membuat Indonesia kembali dijajah. Pancasila, Kebhinekaan, Kebangsaan, NKRI, merupakan harga yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi dengan apa pun.

Saya sebenarnya tidak ingin menulis ini semua, hanya saja merasa perlu ketika membaca dan mendengar ada demo di kampus saya. Mengapa saya harus bersikap? Pendemo itu telah mengklaim diri sebagai pemilik kampus. Di sisi lain, ada mahasiswa yang harus bekerja untuk mendapatkan uang, kemudian dengan uang itu dia membayar biaya kuliah dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi ketika kuliah, mereka tidak bisa menikmati ilmu yang banyak dan tersebar di mana-mana hanya karena sekelompok orang yang merasa diri paling benar. Sudah bekerja keras, ketika ingin mendapatkan ilmu kok harus dihalang-halangi? Mungkin saya akan tambah kecewa jika orang-orang yang berdemo itu mengandalkan beasiswa dari pemerintah untuk kuliah. Dibayar oleh rakyat, tetapi malah balik menghalangi rakyat untuk belajar. Sebetulnya ini merupakan kedangkalan intelektual mereka, bisa dibilang seperti itu. Jika mau, mengapa mereka tidak mengajak diskusi berbagai pihak yang mereka inginkan untuk diskusi, kemudian membicarakan banyak hal, bukankah itu lebih elegan sebagai kaum intelektual?

Mengenai orang yang saya cintai tadi, yang ternyata seorang HTI, itu hanya curhat saja. Entahlah tulisan ini termasuk dalam kategori apa, saya tidak pernah peduli. Yang jelas, apakah dia seorang NU, Muhamadiyyah, Persis, Persib, Persija, Persebaya, saya lagi-lagi tidak akan pernah peduli. Urusan agama adalah urusan masing-masing, jika saya, saya tidak akan menyarankan anda untuk memilih atau keluar dari agama anda. Itu merupakan hak istimewa anda dengan Tuhan, bukan wilayah rame-rame. Mengenai tadi, apakah saya harus memilih perempuan cantik itu, tetapi anti Pancasila, ataukah saya harus tetap mencintai Indonesia dan Pancasila? Sebuah dilema, yang jelas, saya tidak akan pernah membiarkan negeri ini dijajah kembali, leluhur saya telah memberikan hadiah terindah untuk saya, anda, dan kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline