[caption caption="Ilustrasi Pilkada Serental (Sumber: KOMPAS.com)"][/caption]
Pemerintah akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah Serentak atau dikenal dengan "Pilkada Serentak" pada tanggal 09 Desember 2015 di 219 kabupaten, 33 kota dan 9 Provinsi. Tentu, hasil Pilkada serentak ini diharapkan melahirkan pemimpin yang adil, amanah, mencintai rakyat dan tidak korup.
Pilkada langsung adalah produk dari reformasi tahun 1998, dengan berlakunya otonomi daerah (Otda) di Indonesia. Otda lahir berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004. Lahirnya Otda telah mengubah paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, serta terjadinya perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah, dari tidak langsung menjadi langsung.
Kepala daerah yang dipilih langsung sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004, pada awalnya diharapkan membawa perubahan di daerah. Namun pada prakteknya, sebagian besar kepala daerah yang terpilih tidak sesuai dengan harapan masyarakat, diantaranya tidak memiliki kompetensi, terlibat penyalahgunaan jabatan, tidak memiliki moral yang baik, dan yang memperihatinkan, hampir 70% Bupati/Walikota terlibat dalam tindak pidana Korupsi.
Diakui, ada Kepala Daerah yang berkualitas dari hasil Pilkada seperti Ahmad Heryawan, Ridwan Kamil, Rismawati, Ahok dan lain-lain. Namun, pemimpin daerah yang berkualitas dan kreatif masih bisa dihitung dengan jari. Pertanyaannya, kenapa proses demokratisasi di daerah sebagian besar menghasilkan Pemimpin yang kurang berkualitas?
Kita bisa cermati dari proses rekrutmen calon pemimpin daerah, baik Gubernur, Bupati dan Walikota. Sebagian besar calon pemimpin daerah dihadapkan kepada realita politik, bertarung dalam kompetisi politik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan kendaraan politik saja mereka harus mengeluarkan "mahar" yang tidak sedikit.
Kemudian dalam tahapan Pilkada, mulai dari penetapan calon di Komisi Pemihan Umum (KPU), masa kampanye dan pasca Pilkada, milyaran rupiah harus digelontorkan oleh masing-masing calon. Implikasinya, hanya calon dengan "banyak amunisi" yang memiliki kesempatan untuk ikut bertarung di Pilkada.
Sedangkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi tersisih dari panggung politik. Yang akan terjadi dalam Pilkada adalah lahirnya "Kartel Politik", yakni partai politik hanya mendukung calon kepala daerah berdasarkan "Mahar" yang diterima. Bahkan ada praktek "memborong" semua partai sebagai kendaraan politik untuk maju di Pilkada. Seperti di Provinsi Lampung, beberapa Bupati/Walikota dikuasai oleh "Koalisi Besar" dan hanya melawan pasangan Independen atau pasangan calon yang hanya di dukung satu partai saja.
Muara akhir dari praktek "kartel politik" adalah lahirnya kuasa Oligarki di daerah-daerah. Pemimpin daerah yang terpilih, terlebih dahulu akan "melunasi" ongkos politik yang telah dikeluarkan. Untuk itu, dengan kewenangan yang dimilikinya, mengontrol dan memanfaatkan sistem yang ada untuk menguasai sumber kekuatan ekonomi politik. Mereka membangun relasi-relasi secara eksklusif dengan menciptakan elit-elit politik berdasarkan kedekatan keluarga, pertemanan atau loyalis. Mereka hanya bersinggungan dengan kepentingan sendiri dan menjauhkan diri dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.
Duduk di kuasa oligarki tentu saja membuat semua pemimpin daerah merasa "nyaman", oleh karena itu kekuasaannya harus dipertahankan dengan segala cara. Hal ini bisa kita lihat dalam praktek Pilkada di daerah, dimana calon pemimpin daerah petahana mengerahkan semua sumberdaya yang ada, baik melalui birokrasi, program daerah, bahkan dana APBD digunakan untuk memenangkan kembali kursi kekuasaannya.
Bahkan ada kecenderungan di daerah-daerah, para "pemimpin incumbent" sudah menyiapkan pewaris tahta untuk melanggengkan dinasti kekuasaannya, baik itu pasangannya (suami/istri), anak maupun sanak saudaranya.