Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ridwan

Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Indonesia Harus Gunakan Indikator Kemiskinan Multidimensi

Diperbarui: 17 Februari 2016   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Keluarga Pemulung, potret kemiskinan di Ibukota Indonesia Jakarta. Dengan menggunakan IKM, sebanyak 30% atau sekira 75 juta penduduk Indonesia mengalami kemiskinan pada 2014. Jumlah ini hampir tiga kali lipat dari kemiskinan ekonomi versi BPS (Dok. Bataranews.com)."][/caption]Tahun 2006, terjadi kontroversi, ketika Bank Dunia meluncurkan laporan kemiskinan yang berjudul “Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia” yang di dalamnya mengungkapkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia hampir separuhnya dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan waktu itu Badan Pusat Statistik  (BPS) mengeluarkan data kemiskinan sekitar 39,1 juta orang dengan standar Indikator kemiskinan yang berbeda dengan Bank Dunia.

Dilansir Majalah Tempo (21/01/07), Ekonom Bank Dunia, DR. Vivi Alatas, dalam artikelnya  menguraikan jawaban dari dua pertanyaan besar yang selama ini menjadi kontroversi seputar data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.

Pertama,  Kenapa data kemiskinan Bank Dunia jauh lebih tinggi dibandingkan data BPS? Kedua, kriteria kemiskinan apa yang digunakan oleh Bank Dunia?

Dalam artikel DR. Vivi Alatas, terungkap bahwa Bank Dunia mengunakan dua kriteria dalam menentukan garis kemiskinan. Pertama, menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari. Kedua, garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP (purchasing power parity) US$ 1 dan US$ 2. Bank Dunia menggunakan keduanya, masing - masing untuk tujuan analisis yang berbeda.

Garis kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS yang berdasarkan pola konsumsi, digunakan Bank Dunia untuk menganalisis profil kemiskinan, penyebab kemiskinan dan telaah strategi atau program antikemiskinan di sebuah Negara.

Namun, karena parameter kemiskinan yang digunakan oleh suatu negara tidak bisa digunakan oleh negara lain, maka Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan internasional dalam bentuk nilai tukar PPP US$ 1 dan US$ 2, sebagai standar internasional yang bisa diterapkan diseluruh negara.

Nilai tukar PPP 1 US$ mempunyai pengertian berapa rupiah yang diperlukan untuk membeli barang dan jasa, yang bisa di beli dengan satu dollar di Amerika Serikat. Nilai tukar ini dihitung secara berkala dari data harga dan kuantitas konsumsi sejumlah barang dan jasa untuk setiap Negara.

Dari perhitungan tersebut ditemukan bahwa 7,4 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 1 per hari dan 49 persen di bawah PPP US$ 2 per hari.

Angka 49 persen tingkat kemiskinan inilah yang jadi kontroversi, namun angka ini, menurut Bank Dunia jauh lebih baik dibandingkan tahun 1999, dimana sekitar 75 persen masyarakat Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 2 per hari.

Di Asia Tenggara, tahun 2005, tingkat kemiskinan PPP US$ 1 Indonesia sebanding dengan China (8 persen), sedikit di bawah Filipina (9,6 persen) dan sedikit di atas Vietnam (6,2 persen). Namun untuk posisi dengan standar US$ 2 per hari, Indonesia jauh lebih tinggi (49 persen), Bandingkan dengan konsumsi PPP US$ 2 China (26 persen), Filipina (39,3 persen) dan Vietnam (39,7 persen).

Dari data tersebut,  bisa dianalisa, ada gap pendapatan yang sangat besar antara pendapatan US$ 1 (7,4 persen) dengan pendapatan di bawah US$ 2 (49 persen) di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline