Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ridwan

Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Ombak Perdamaian Aceh

Diperbarui: 26 Desember 2016   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Penulis di depan Masjid Baitturahman, Banda Aceh Tahun 2008. Penulis pernah bertugas di Aceh sebagai Fasilitator/Relawan untuk membantu masyarakat Aceh Paska Bencana Tsunami tahun 2004 (Dokumentasi Pribadi)"][/caption]Siang itu, angin dengan kuatnya menyapu wilayah Mukim Kuala Daya, Lamno, Aceh Jaya.

Debu berterbangan dari jalan Gampong yang aspalnya sudah terkelupas. Susah payah ku meliukan kereta (sebutan motor untuk orang Aceh) menghindari jalan berlubang.

Aku sudah mulai terbiasa melewati jalur ini. Jalan satu-satunya akses dari kota Kecamatan Lamno ke empat Gampong di Kuala Daya: Nusa, Rumpit, Darat dan Gle Jong. Setelah Gle Jong, tidak ada lagi akses ke Gampong lain di Kuala Daya, jembatan satu-satunya penghubung antara empat Desa tersebut dengan desa lainnya tersapu Tsunami.

Hampir tiap hari kulalui jalan ini, sehingga hapal titik-titik jalan yang rusak parah. Disepanjang jalan, kiri dan kanan, tampak tenda-tenda dan barak pengungsi masih berdiri. Sebagian rumah bantuan dari luar negeri, sudah mulai dibangun. Aceh pasca bencana Tsunami, khususnya pesisir barat Aceh memang "hancur total".

Kereta melaju tidak terlalu kencang, saat memasuki Desa Nusa seseorang menyapa.

"Piuh (mampir) Dek, ngopi dulu" Sapa Tengku Hasan yang ku kenal sebagai seorang Tengku Imum (Ulama) di Gampong Nusa, Kuala Daya, yang kebetulan sedang di depan sebuah kedai kopi.

"Terima kasih, saya harus ke Gle Jong dulu" Jawabku, sambil mematikan kereta.

Aku turun sebentar, sekedar untuk menyalami dan berbincang dengan Tengku Imum yang ku kenal sebagai tokoh masyarakat yang dihormati diwilayah Kuala Daya.

Tidak lama kami berbincang, aku segera pamit dan melanjutkan perjalanan.

Tiba di tujuan, memasuki Gle Jong, sebuah Gampong dekat pantai, tidak jauh dari makam Po Teumeureuhom Daya (nama lain dari Sultan Alaiddin Riayat Syah, Sultan Mereuhom Daya yang termasyhur)  tampak beberapa tenda yang mulai lusuh dan beberapa unit Huntara (Hunian sementara).

Segera ku mendekat kesalahsatu Huntara  yang ditempati seorang pemuda yang sedang asyik memetik gitar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline