Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ridwan

Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Hari Santri: Pengakuan Sejarah atau Politik Belah Bambu?

Diperbarui: 25 Oktober 2018   17:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

["Lambang NU dan Muhammadiyah (Sumber: Islam-Institute.org)"][/caption]

Meski menuai protes, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap mendeklarasikan Hari Santri Nasional (HSN) di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Kamis (22/10/2015). Sebelumnya Pengurus Pusat Muhammadiyah keberatan dengan keputusan Presiden Jokowi yang akan menetapkan HSN. Menurut Muhammadiyah, tidak perlu ada eksklusivitas antara santri dan non-santri dikhawatirkan akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. (Baca : Hari Santri Nasional Akan Mendistorsi Makna Santri?)

Namun, Presiden Jokowi  berpendapat penetapan HSN tidak akan membuat polarisasi di antara kelompok tertentu di internal umat Islam Indonesia. Penetapan Hari Santri diyakini akan memperkuat semangat kebangsaan, mempertebal rasa cinta Tanah Air, memperkokoh integrasi bangsa, serta memperkuat tali persaudaraan. Menurutnya, penetapan Hari Santri Nasional ditentukan setelah mempertimbangkan berbagai hal. Salah satunya, dari sudut pandang sejarah, bahwa santri memiliki peran cukup penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ini merupakan pengakuan pemerintah atas jasa-jasa Santri dan Ulama dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut mendapat tanggapan dari mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin; yang menyatakan HSN hanya romantis ke belakang tapi tidak jelas ke depan.

Pemahaman “romantisme ke belakang” yang dimaksud Din Syamsudin ini bisa multi tafsir. Pertama, momentum HSN ini hanya sebatas mengenang peristiwa resolusi jihad yang dilakukan santri dan ulama pada masa kemerdekaan dulu. Kedua, upaya Nahdatul Ulama (NU) untuk kembali dekat dengan kekuasaan.

Penulis menganalisa, masih ada “Kecurigaan” dari kelompok Islam modernis, khususnya Muhammadiyah terhadap tujuan Pemerintah Jokowi yang memiliki benang merah ideologi dengan Pemerintahan Soekarno.

NU dan  Masyumi

Sejarah mencatat di  era Soekarno, NU dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam terbesar selalu menempuh jalan bersibak dua. Perbedaan pandangan politik kedua Ormas Islam tersebut sudah terjadi semenjak keduanya masih berafiliasi kepada partai politik Islam Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

NU keluar dari Partai Islam Masyumi pada Mei 1952 dalam Muktamar ke-19 di Palembang. Dalam buku Islam dan Politik (Gema Insani Press, 1996), karya Prof. DR.  Ahmad Syafii Maarif, sebab-sebab keluarnya unsur NU dari Masyumi dapat dilacak pada perasaan tidak puas dikalangan unsur ini atas dominasi kelompok reformis dalam dewan partai dimasa kepemimpinan Mohammad Natsir. Ada ketidakpuasan NU terhadap “jatah menteri” yang waktu itu hanya menduduki Menteri Agama. Menurut NU, para Kyai pun bisa menjadi menteri selain Menteri Agama.

Dengan keluarnya NU dari Masyumi, Partai Islam terpecah menjadi empat partai: Masyumi, NU, PSII dan Perti. Keluarnya NU dari Masyumi membuat posisi partai dengan logo Bulan Bintang tersebut menjadi lemah. Oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, dalam buku Islam dan Politik di Indonesia, proses ini disebut periode kristalisasi partai-partai Islam.

Politik Belah Bambu Di Masa Demokrasi Terpimpin

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline