Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada kebijakan-kebijakan publik dibuat dengan sangat detail memakai model kebijakan Anglo Saxon dimana sebuah kebijakan dibuat oleh para politisi profesional dengan melibatkan partisipasi publik. Model Kebijakan Anglo saxon tidak memerlukan kebijakan turunan seperti produk kebijakan dari kepala eksekutif. Di Indonesia kebijakan publik masih tersandera oleh model kebijakan warisan belanda dimana kebijakan induk (UU) sengaja dibuat tidak lengkap maka diperlukan produk kebijakan turunan dari kepala eksekutif model kebijakan ini disebut dengan model kebijakan kontinetal.
Bila menilik sejarah bukan tanpa sebab bila belanda menggunakan model kebijakan kontinental,saat itu undang-undang dibuat oleh Volksraad (Parlemen tanah jajahan) yang mayoritas diduduki oleh pribumi, sedangkan pada level eksekutif dipegang oleh Gubernermen dari pihak belanda maka siasat belanda untuk mengatur operasionalnya dibuatlah kebijakan turunan yaitu produk kebijakan dari kepala eksekutif seperti peraturan pemerintah. Cara belanda membuat model kebijakan kontinental dapat dikatakan sebagai cara mengelabui Voksraad (Parlemen) dengan membajak yang seharusnya menjadi domain legislatif.
Indonesia saat ini bukan lagi soal mengelabui atau mengakali lembaga publik satu sama lain,namun yang terjadi saat ini adalah kolaborasi antar lembaga publik untuk mengelabui dan mengakali rakyat sipil. Bila dahulu belanda menggunakan model kebijakan kontinental hanya untuk menguntungkan lembaga eksekutif maka saat ini baik legislatif maupun eksekutif satu sama lain saling mencari keuntungan.
Salah satu produk kebijakan yang menguntungkan satu sama lain adalah UU Cipta kerja. Undang-undang tersebut bukan lagi mengakali namun melukai rakyat sipil khususnya para pekerja buruh. Undang-undang tersebut dalam pembentukkannya tidak melibatkan partisipasi publik. Pemerintah bersama DPR saling kebut melegalkan UU cipta kerja.
Dampak UU cipta kerja bisa dilihat dari kebijakan pemerintah melalui peraturan menteri tenaga kerja no 5 tentang penyesuaian waktu kerja dan pengupahan pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor. Kebijakan tersebut dapat mengurangi hak-hak buruh salah satunya soal upah.
Kebijakan publik sebagai keputusan politik bersama menjadi rumit bila masing-masing lembaga publik saling terbelenggu kepentingan tertentu. Parlemen saat ini adalah parlemen koalisi pemerintah dimana eksekutif berperan sebagai "Aktor utama" mencipta dan mengontrol jalannya undang-undang.
Fungsi legislatif sebagai pengawas jalannya pemerintahan dan pembuat undang-undang perlu dipertanyakan kembali. Mengerti dan memahami hakikat kebijakan publik namun terbelenggu kepentingan tertentu berdampak pada kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan publik yang memiskinkan rakyat.
Maka seperti apapun model kebijakan publik yang dipakai baik model kebijakan Anglo saxon ataupun model kebijakan Kontinental selama integritas, moral dan etika tidak menempel dihati dan jiwa para pejabat publik,jangan harap kebijakan publik yang unggul yang dapat memakmurkan rakyat dapat tercipta. Karena sejatinya kebijakan publik berisi nilai-nilai kebaikan yang menyangkut integritas,moral dan etika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H