Lihat ke Halaman Asli

etika

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam telaah analitis tentang Weber dan Islam, sebagaimana ditulis Bryan S. Turner, perlu dijelaskan terlebih dahulu penafsiran Weber tentang Islam dalam konteks lahirnya dunia modern. Maka menjadi penting untuk menjawab beberapa pertanyaan, apakah sebenarnya argumentasi Weber tentang hubungan antara kepercayaan beragama dengan timbul dan bertahannya lembaga-lembaga kapitalis? Di sini jelas bahwa pertanyaan ini merupakan titik pusat masalah dalam memahami penafsiran Weber tentang Islam.
Max Weber mengadakan penelitian mengenai peran agama-agama dan pengaruhnya atas etika ekomomi. Weber mencoba membuktikan bahwa tanpa reformasi Protestan, kapitalisme Barat tidak akan pernah dapat berkembang hingga kemajuannya seperti sekarang ini. Dia menampilkan bukti mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama Protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme. Konsep semangat kapitalisme yang digunakan di sini dimengerti dalam pengertian khusus yakni sebagai semangat kapitalisme modern. Oleh karena itu berkaitan dengan kapitalisme modern Eropa Barat dan Amerika. Kapitalisme menurut Weber memang ada di Negara-negara non-Eropa dan Amerika seperti di Cina, India dan Babilon serta di dunia maju abad-abad pertengahan, akan tetapi dalam wilayah-wilayah itu etos kerja khusus semacam Protestan berkurang di mana kerja harus ditunjukkan, seolah-olah kerja merupakan suatu tujuan yang pasti dalam kerja itu sendiri, semacam panggilan. Sistem kapitalis begitu membutuhkan kepatuhan terhadap suatu panggilan untuk mencari uang. Oleh karenanya, konsepsi bahwa mencari uang sebagai tujuan di dalamnya yang mengikat manusia sebagai suatu panggilan menjadi berlawanan dengan perasaan etis pada keseluruhan periode sejarah.
Weber mengemukakan contoh terkenal mengenai hubungan antara berbagai bentuk tertentu agama Protestan dan perkembangan yang sangat cepat menuju kapitalisme tadi. Di negeri Belanda padan abad 16 dan 17 terdapat kepemilikan bersama dalam kegiatan usaha kapitalis di kalangan keluarga Huguenots, dan orang-orang Katholik di Perancis pada abad 16 dan 17 juga, di kalangan kelompok Puritan di Inggris, dan terlebih dari itu juga di kalangan para penganut cabang puritanisme Inggris yang menetap di Amerika dan mendirikan New England (Inggris Baru); contoh-contoh yang disebut ini mewakili berbagai kejadian di mana sikap baru dalam kegiatan ekonomik secara dramatis menghancurkan tradisionalisme ekonomi yang lama. Pendekatan Weber menggambarkan pendapat bahwa bersamaan dengan kapitalisme ini muncullah cara hidup yang baru, rasional dan kalkulatif.
Pandangan Weber mengenai hal di atas adalah bahwa penolakan terhadap tradisi, atau perubahan yang sangat cepat dalam metode dan valuasi terhadap kegiatan ekonomik seperti itu, tidaklah mungkin terjadi tanpa dorongan moral dan agama. Hanya saja Weber juga menyatakan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dari berbagai kelompok keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme yang mapan pada masanya sendiri. Di Jerman, Perancis dan Hongaria, Weber menyatakan dengan tegas bahwa distribusi pekerjaan dan persiapan pendidikan bagi mereka menunjukkan bahwa para penganut Protestan Calvinis lebih besar kemungkinannya untuk memainkan peranan dalam dunia usaha dan manajerial, serta untuk melaksanakan pekerjaan di berbagai organisasi modern berskala besar, dibandingkan dengan para penganut Katholik atau Protestan Lutheran. Kedua kelompok ini cenderung tetap menekuni pekerjaan di bidang pertanian, usaha kerajinan berskala kecil, atau dalam berbagai profesi humanistik, hukum, dan pemerintahan.
Setelah meyakini adanya hubungan antara agama Protestan Calvinis dan semangat Kapitalisme, Weber lebih lanjut berusaha membahas dan mengidentifikasi berbagai corak organisasi ekonomik lainnya, serta berbagai ciri yang membedakan antara Calvinisme dengan beberapa agama seperti Hindu, Budha, Taoisme, Katholik, termasuk Islam.
Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan ‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Islam periode Mekkah sebagai agama eskatologis berkembang dalam convecticle kota pietistik yang mempertahankan suatu tendensi untuk menarik diri dari dunia. Namun dalam perkembangan selanjutnya di Madinah dan dalam evolusi komunitas-komunitas awal, agama ini berubah menjadi agama prajurit dengan tekanan-tekanan kelas yang sangat kuat. Dengan ulasan lain, seperti dikutip oleh Taufik Abdullah, meskipun Islam dipercaya sebagai agama yang menganut sistem teologi yang ‘monoteistis universalistis’, Islam dianggap Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempeunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’, berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’. Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teologis.
Perintah-perintah religius hukum suci tidak tidak diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks pertamanya. Tujuan utamanya adalah perang hingga para pengikut agama-agama kitab asing akan membayar upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam puncak skala sosial dunia dengan meminta upeti dari agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah agama para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan yang bersifat duniawi. Weber kemudian memandang Islam dalam banyak segi sebagai lawan puritanisme di mana ia selanjutnya memiliki semangat hedonis murni. Hedonisme yang dimaksud Weber nampak pada kenyataan Islam yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup, khususnya terhadap wanita, kemewahan dan harta benda. Etika al-Quran yang tidak mempertentangkan antara perintah-perintah moral dengan dunia menghasilkan suatu kesimpulan bagi Weber bahwa tidak mungkin etika asketis yang dominan akan muncul di dalam Islam. Kenyataan inilah yang menurut Weber merupakan suatu bentuk penyelewengan dari monoteisme Islam pada kecenderungan hedonisme murni tadi. Penyelewengan seperti dimaksud Weber adalah faktor mengapa asketisme tidak ada dalam Islam yang implikasinya kapitalisme rasional tidak dapat tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh budaya Islam. Alasannya, pertama, masyarakat Islam bersifat feodalistik ‘prebendal’ dan birokrasi patrimonial; dua faktor yang tidak mungkin memunculkan terciptanya kapitalisme rasional. Kedua, kondisi-kondisi militer dan ekonomi masyarakat Islam tidak memadai bagi perkembangan kapitalisme. Pendek kata, bagi Weber Islam anti rasionalitas.
Alasan kuat Weber untuk sampai pada kesimpulan ini adalah praktek-praktek ekonomi kaum Muslim yang tidak mendukung proses akumulasi kapital atau pertumbuhan kapitalisme secara keseluruhan. Demikian pula praktek-praktek sufistik Islam yang pada umumnya mengesankan sikap ‘melupakan dunia’ dijadikan dasar bagi kesimpulan-kesimpulan di atas. Lebih lanjut Weber juga percaya bahwa kaum Muslim, lagi-lagi berbeda dengan Protestan aliran Calvin, tidak memiliki sikap sederhana, hemat, tekun atau berperhitungan dalam seluruh kegiatan ekonomi mereka. Pendeknya, mereka tidak mempunyai semangat beruf (calling atau panggilan ilahiyah) dan asketis yang mempunyai afinitas dengan pertumbuhan kapitalisme.
Melihat kontroversi yang diciptakannya melalui magnum opus-nya, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, banyak kalangan berpendapat bahwa Weber kurang begitu serius (mendalam) dalam, atau tidak begitu banyak waktu yang ia luangkan unutk mempelajari Islam. Seperti dikemukakan, sekali lagi, oleh Taufik Abdullah, ada pengaruh orientalisme dalam nada pemahaman Weber tentang Islam. Lebih lanjut Taufik Abdullah menulis tentang berbagai keberatan yang dapat diajukan terhadap penafsiran Islam yang dilakukan Weber. Ketidaksempatan Weber mengadakan studi yang mendalam tentang Islam tidak dapat dipakai sebagai suatu pemaafan. Sebab, penafsiran-penafsirannya di atas tidaklah bertolak dari kekurangan pengetahuan saja, akan tetapi terutama dari dasar konseptual dan sikap ilmiah yang tidak tepat. Weber bukan saja muncul sebagai anak Eropa yang kagum atas sejarah peradabannya, tetapi juga ia pengikut dari kecenderungan intelektual dari masa awal orientalisme. Seluruh pengetahuannya tentang Islam tergantung pada tulisan-tulisan para pelopor orientalis, yang sebahagian besar masih dihinggapi suasana “Perang Salib” dan, terutama, yang melihat dengan nista zaman Islam yang sedang pudar ketika itu.
Soal adanya pengaruh orientalisme ini diakui oleh Edwar W. Said yang mengkritik Weber karena metodologinya yang bersifat formatif, yaitu penggunaan ‘tipe-tipe’ dalam sains-sains sosial baik sebagai alat analitis maupun sebagai cara untuk meneropong hal-hal yang akrab dengan cara yang baru. Dan pemikiran-pemikirannya mengenai tipe hanyalah merupakan konformasi “luar” mengenai banyak tesis kanonis yang dipegang oleh para orientalis, di mana gagasan-gagasan ekonominya tidak pernah lebih dari pernyataan tentang ketidakmampuan bangsa-bangsa Timur untuk berdagang, berniaga dan mengatur ekonomi secara rasional. Bryan S. Turner, seorang pengkritik pandangan Weber, juga menyinggung adanya pengaruh orientalisme ini, khususnya yang menyangkut Islam. Menurut Turner, “In any case, his outline of Islamic worrior-ethic was tangential to his main concern for the patrimonial character of medieval Islam. In his discussion of Oriental patrimonialism, Weber unwittingly duplicated an analysis of Oriental society which had already been performed bay Marx and Engles; …”.

Penutup
Sambil mengesampingkan persoalan mengapa Weber memandang Islam seperti itu, jelas bahwa pandangan-pandangan tersebut baik secara teologis maupun soiologis sulit untuk diterima terutama oleh kalangan Islam. Atau, setidak-tidaknya oleh mereka yang memahami Islam dengan “baik”. Bahkan oleh sebahagian orientalis pun pandangan seperti diungkapkan Weber di atas sulit untuk diterima.
Dan di sini patut disebut pandangan orientalis terkemuka HAR Gibb, yang melihat Islam lebih dari sekedar agama, tetapi sebagai suatu sistem peradaban yang menyeluruh. Atau, seperti apa yang ditulis oleh Bryan S. Turner, ”Weber was hopelessly incorrect in purely factual terms”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline