Kerinduanku yang paling besar sejak aku mengenal Papua, tanah Cendrawasih itu, adalah menetap dan tinggal di sana pada waktu yang tidak terbatas. Tidak terikat kontrak, bahkan tidak dibatasi dengan waktu yang ditentukan. Yang kumau, bisa menghabiskan hari-hariku, waktuku, bahkan seluruh kemampuanku untuk melayani Papua secara total. Dunia pendidikannya terutama. Dan kini, akhirnya, apa yang kuharapkan itu terjawab sudah setelah saya memutuskan untuk mengabdi, mendidik, dan tinggal di Papua untuk waktu yang tidak ada batasnya lagi.
Paragraf pembuka di atas adalah ungkapan hati seorang guru yang mengabdikan dirinya di Tanah Papua melalui program SM-3T. Ini merupakan “logika sesat” dari seorang yang sudah “sesat”. Dikatakan sesat, kok, bisa-bisanya seseorang lebih memilih Papua—maaf—ketimbang daerah lain? Apa tak ada lagi daerah lain yang lebih bersahaja, lebih romantis, lebih mewah?
Kita tahu, Papua hanyalah negeri kepingan surga yang hanya kaya secara alam, tetapi sangat miskin dari segi pembangunan. Mengapa miskin? Banyak jawaban yang boleh dijejerkan. Tetapi yang paling masuk akal dan dapat disaksikan dengan mata telanjang adalah dengan melihat fisik pembangunan. Bandingkan saja Papua dengan kota-kota lainnya! Jauh ketinggalan!
Pengertian yang boleh kita simak dari situ adalah bahwa pemerintah saja sesungguhnya tak menaruh perhatian “lebih”! Maksud saya, perhatian yang minimal! Lalu, darimana pula nalarnya seseorang—yang boleh dikatakan masih muda dan berbakat—harus menaruh perhatian besar kepada Papua? Pemikiran seperti apa ini kalau bukan “logika sesat”? Dari siapa pula ini, kalau bukan dari orang “sesat”?
Namanya Maruntung Sihombing. Saya kenal dekat dengan beliau. Atas inisiatif beliau, kami sewaktu mahasiswa mendirikan KDM KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis). Dengan KDM itu, kami juga menerbitkan majalah. Boleh dibilang (dan memang begitu sejatinya), saya terinspirasi dan tergerak menulis karena “cemburu” melihat tulisan beliau yang beberapa kali dimuat di harian lokal, Analisa, sebuah harian terbesar di Sumut, Medan.
Sejak saat itu, saya tertarik dan sudah termasuk produktif menulis di berbagai media. Saat ini selain saya, sudah banyak pula penulis lokal yang berhasil tembus ke media dari KDM. Sungguh, ini sebuah prestasi karena terinspirasi! Dan, secara tak langsung inspiratornya adalah Maruntung. Orang bijak bilang, pemimpin yang berhasil adalah mereka yang menghasilkan pemimpin. Menurut Anda barangkali hal ini sepele, tetapi bagi kami, atau setidaknya saya, Maruntung telah mengimplementasikan bahwa pemimpin itu mesti melahirkan pemimpin lain.
Maruntung Sihombing bukanlah orang sembarangan. Dia pernah menjabat menjadi orang kedua terhebat di kampus Unimed dengan menjabat sebagai Sekjend Senat Mahasiswa periode 2012-2013. Boleh dibilang, memegang tampuk kekuasaan mahasiswa sudah “mewajibkan” bahwa seseorang itu punya afiliasi, atau setidaknya niat, untuk hidup di keriuhan, bukan kesunyian. Apalagi konon, seringkali pilihan menjadi guru hanyalah pilihan terakhir: hanya karena tidak lulus di kedokteran, hukum, atau cabang pendidikan yang lain.
Artinya, nun jauh di dalam hati, ada saja keinginan mahasiswa untuk keluar dari “siksaan nasib” yang menempatkannya di keguruan. Dan, saya pikir, Maruntung punya tangga untuk keluar dari sumur “siksaan nasib” tadi. Pertanyaannya adalah, mengapa beliau tak mengambil yang lalu menaiki tangga tersebut agar keluar dari “siksaan nasib”? Mengapa beliau justru menceburkan diri pada sumur itu?
Jujur saja, semula saya menaruh curiga bahwa Maruntung memilih SM-3T hanyalah karena “takluk” dikepung deadline berita di media tempat dia bekerja: Batak Pos. Saya tidak menghakimi, tetapi kita tahu sendiri berapa honor seorang wartawan! Maka itu, ketika kudengar beliau berangkat ke Tanah Papua, saya berpikir, Maruntung sedang bersembunyi dari balik perang deadline. Kata-kata yang dibangunnya sebagai alasan pergi ke Papua, bagi saya sebelumnya, hanyalah tameng. Tak mungkin mengaku terang-terangan takluk, bukan?
Ya, Maruntung—lagi-lagi—bukan orang sembarangan. Maksud saya, dia adalah orang yang berbakat dan kalau saja mau, mudah saja bagi dia bersaing di kota besar jika mencari pekerjaan adalah sebuah persaingan. Buktinya, selama di Papua, Maruntung bersama teman-temannya telah berhasil menelurkan beberapa prestasi. Sekadar menyebut contoh, pada tahun 2014, mereka pernah memecahkan rekor MURI dengan tajuk acara Gerakan Membaca 1.000 Anak Lany Jaya, Papua. Sertifikat penghargaan itu kini terpajang di Biro Rektor Unimed. Pada tahun ini juga, mereka membuat film “Jika Aku Besar Nanti”.