Lihat ke Halaman Asli

Di Antara Kita

Diperbarui: 31 Oktober 2015   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ia mengamuk. Ia hancurkan semua benda yang ada di kamarnya. Ia menangis, menangis sejadi-jadinya. Aku mengatahui hal itu, namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menyaksikan dari balik pintu kamarnya. Ia masih menangis. Namun, ia menyadari bahwa kamarnya bersebelahan dengan kamar ayah dan ibunya. Ia tak ingin menggangu tidur orangtuanya. Ia tak mau keduanya tahu. Aku berdiri—mematung—dari satu jam yang lalu, tak dapat berkutik dan tak tahu ingin memulai dari mana. Aku tak ingin mengganggu tangisnya. Ya, tepat. Aku biarkan saja dia menangis, menangis untuk menikmati kesedihan itu.

Satu jam berlalu. Dua jam berlalu hingga kini, aku tak sanggup untuk menemuinya. Aku berpikir bahwa ia harus tenang dengan caranya, bukan dengan caraku. Aku masih mengintipnya. Di balik daun pintu yang agak terbuka sedikit itu. Aku masih belum melihat ia tenang. Amarahnya masih meradang, menguasai hati dan pikirannya.  

Aku mulai lelah berdiri—mondar-mandir—di balik pintunya. Suara tangisnya masih terdengar. Aduh! Memilukan. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku sudah berdiri lebih dari lima jam yang lalu. Kali ini ia terisak menahan tangisnya. Aku tahu, ia ingin berhenti dari tangisan itu. Ini waktu yang tepat!. Kataku.

Aku berjalan memasuki kamarnya. Membuka pintu kamarnya perlahan. Ruangan itu sangat gelap. Aku dapat merasakan kesedihan dan kekecawaannya dalam gelap. Gelap ini sangat mematikan. Gelapnya malam dan gelapnya kamar itu sama-sama sedang bersekongkol membunuh hatinya. Membunuh jiwanya. Aku tak dapat melihat.. aduh! Kemana tombol lampunya, gumamku.

Aku mencoba meraba-raba dinding kamarnya. Yes! Ketemu, kataku. Ku nyalakan lampu itu dan ku dapati ia terbelenggu dalam daya kekecewaan. Kegelapan berhasil memusnahkan logikanya. Ia tergetak kaku dalam ranjang tidurnya. Aku menggerak-gerakan tubuhnya.

“Hei… heeiii… bangun. Sadarlah. Aku bersamamu”

Aku terus menggerakan tubuhnya. Ia tak berdaya. Pandangan matanya kosong.

Aku terus menatapnya. Ku biarkan ia larut dalam emosi jiwanya—dalam gelora kekecewaaan yang membakarnya—ia tak sadarkan diri.

Lagi-lagi aku menunggunya. Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Kami masih terdiam. Wajahnya ke arahku. Tetapi, tidak pandangan matanya. Aku masih menunggu. Hingga satu jam ia tak merespon ku dengan kata-kata.

Ia berusaha tersenyum dengan begitu getirnya.

“Ia telah pergi. Aku telah membiarkannya.” Katanya sambil terisak-isak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline