Kebekuan berfikir
Hampa
Stagnan
Tidak berprogres
Rendahnya budaya literasi membuat kita stagnan dalam kreatifitas berpikir. Menganggap aktifitas membaca sebagai hal yang membosankan, tidak gaul, membuang-buang waktu menjadikan orang mengabaikan pentingnya budaya literasi. Faktanya, daya baca negeri ini berada di peringkat sangat bawah. Itulah yang menjadikan Indonesia belum memiliki kualitas SDM yang mumpuni, kurang progresif, dan produktivitas rendah.
Padahal membaca adalah hal paling awal diajarkan kepada manusia melalui kisah Nabi Muhammad SAW ketika turun surat al 'alaq ayat 1-5. Perintah membaca adalah hal pertama kali yang disampaikan kepada baginda Nabi.
Kasus nyata lainnya misalnya, pada saat peristiwa hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh pasukan sekutu saat perang dunia kedua. Kejadian itu menelan jutaan orang lenyap. Tragis, sebuah sejarah kelam yang cukup dijadikan pelajaran berharga. Namun ada cerita unik dibalik itu. Perdana menteri jepang pada saat itu, memberikan perintah untuk mencari tahu ada berapa jumlah Guru yang tersisa.
Hal ini menandakan bahwa urgensi dunia pendidikan sangatlah diprioritaskan. Bukan militer, bukan ekonomi, melainkan sector pendidikanlah yang pertama kali digerakkan agar sumber daya manusia tidak kehilangan kemampuan berfikir.
Dan ternyata hal itu bisa kita saksikan hari ini. Buah dari perintah PM jepang saat kalah dari sekutu saat World War II. Negerinya makmur, tingkat SDM yang tinggi di Asia. Salah satu Negara yang maju dan perkembangan teknologi yang tidak perlu kita ragukan lagi.
Esensi dari membaca memang tidak perlu kita ragukan. Membaca membuka jendela berpikir yang lebih luas, lebih komprehensif serta meremajakan sel-sel otak.
Akses sumber bacaan seperti buku memang masih menjadi polemic yang nyata. Di kota-kota besar, akses toko buku sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi bagaimana nasib mereka yang tinggal di tempat yang jauh dari kota, alias pelosok?