Lihat ke Halaman Asli

M Ridhwan Suriawijaya

Mahasiswa dan kemajuan

Presidentian Threshold 0%, Udara Segar Demokrasi Indonesia?

Diperbarui: 30 Desember 2021   01:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang akhir tahun 2021, bukan berarti ada jeda dalam perpolitikan Indonesia, sebaliknya semakin panas dan ganas meraih kemenangan pemilu 2024. 

Terkini, diskursus memuncak hingga gugatan berkali-kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi mengenai Presidential Threshold tanpa ambang batas alias 0%. Pro dan kontra menanggapi ini semakin kuat dari kalangan politisi, pakar, hingga masyarakat Indonesia.


Dalam hukum, Presidential Threshold  menjadi syarat bagi setiap warga negara yang akan menjadi Presiden atau Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum. Posisinya sebagai ambang batas perolehan suara Partai Politik dalam mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Merujuk Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, saat ini angka Presidential Threshold  sebesar 20 persen.


Dalam kacamata demokrasi, keterbukaan menjadi jalan utama berlangsungnya stabilitas suatu negara yang demokratis, maka ambang batas 20% menjadi tembok bagi siapapun yang ingin maju menjadi Calon Presiden atau Wakil Presiden. Bukan hanya itu saja, oligarki dan politik dominan akan terus memancar dalam demokrasi di Indonesia. Hal ini publik sudah tahu siapa yang akan menang.


Secara kuantitas, Indonesia banyak memiliki sosok kepemimpinan yang berkualitas tinggi memimpin tanah pertiwi dalam kontestasi elektoral ini yang akan menjadi penghalang bila Presidential Threshold  terasa tinggi apalagi ambang batasnya dinaikkan. 

Akibatnya transformasi kepemimpinan baru dalam demokrasi di Indonesia akan berjalan sempit dan mengalami lingkaran stagnan. Lebih bahaya, Indonesia terus masuk dalam sandiwara pemilu yang dilakukan oleh elit berkepentingan.


Lalu, Presidential Threshold  tanpa ambang batas diterapkan menjadi penyegar demokrasi? Jawabannya terhadap realitas dan hasilnya. Bila, betul ini sebagai keterbukaan kepemimpinan yang meminggirkan kepentingan partai politik, maka dapat menjadikan demokrasi yang lebih segar. Namun, harus diperhatikan munculnya masalah baru berkaitan kontrol dalam Presidential Threshold  tanpa ambang batas.


Masalah tersebut, Indonesia bisa masuk dalam demokrasi secara prosedural ekstrem karena membuka banyak pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang kembali terhadap jalannya subtansi bisa sangat terganggu. Maka, bisa jadi pemilu 2024 menjadi catatan sejarah terbanyak pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.


Masalah akan semakin rumit dengan tidak membutuhkam suatu institusi politik, yaitu partai politik sebagai kendaraan dalam Pemilihan Umum. Siapapun yang ingin mencalonkan bisa jadi tidak mau menggunakan jalan Partai Politik, melainkan menggunakan jalan independen yang dapat masuk dalam persaingan tersebut. Artinya partai politik pun akan diragukan dan subtansi partai politik sebagai institusi politik terbilang mati.


Jalan keluar dalam persoalan ini, ketika ambang batas sangat memberatkan dan penghapusan ambang batas telah menjadi hipotesis demokrasi yang ekstrem. 

Maka, titik tengah dari ini semua penurunan ambang batas yang bisa menjadi kesegaran dalam demokrasi terkhususnya berjalannya transformasi kepemimpinan yang terbuka sekaligus peran partai politik terus terpancarkan dengan sangat subtansial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline