Jemari saya tergelitik untuk menari, berusaha menyusun frasa tuk ciptakan dialektika. Serapan-serapan hangat dari perbincangan secangkir kopi dan keheningan malam. Jenuh juga bungkam dalam sunyi bersama sepi, dan nalar ku berjalan menabur umpan tuk mengundang riuh mata yang haus untuk membaca.
Mendengar dan mendapati berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini di dalam negeri, saya merasa sangat merindukan saat-saat dahulu. Saat dimana kaki saya melangkah di atas tumpukkan pasir gunung merapi yang masih cukup panas dan tangan saya sibuk mengorek-orek sebidang pasir setelah terendus oleh seekor anjing yang membuatnya menyalak memecah keheningan dusun yang luluh lantah akibat letusan merapi beberapa tahun silam.
Masih membekas dalam ingatan, bagaimana pupil mata saya mengembang dan mengecil. Sebab melihat peta topografi yang meliuk-liuk bertumpuk bagai cacing, yang dengan rumusan tertentu tim pencari menentukan lokasi observasi untuk menemukan puing-puing sukhoi di lembah hutan rimba Gunung Salak.
Kadang kala saat tak sengaja menghirup debu di jalanan, saya teringat bagaimana pekatnya debu vulkanik merapi yang membumbung tinggi dan menutupi beberapa wilayah di sekitarnya. Banyak hal yang masih teringat dalam benak saya mengenai hal-hal menakjubkan itu, termasuk bagaimana harumnya aroma daging terbakar di desa-desa dekat kaki Gunung Merapi.
Siapa yang mengira, saat melalui itu semua usia saya masih di bawah 20 tahun. Mungkin tidak begitu muda, tapi tentunya saya mengalami perjalanan panjang untuk bisa berada disana.
Bukan sekedar perjalanan menggunakan kereta dari stasiun pasar senen menuju stasiun lempuyangan di Jogjakarta, atau menaiki bus dengan trayek Depok-Sukabumi.
Jelas, bukan itu. Tetapi fase dimana saya harus belajar dan berlatih, membaca teori dan menerapkannya dalam tes-tes yang menentukan kelayakan saya dalam bidang tertentu yang sedang saya jalani. Bagaimana saya harus berlatih fisik di siang hari yang terik dan terbakar panasnya sengatan matahari.
Tentang bertahan hidup selama 48 jam di hutan lepas, hanya bermodalkan pisau kecil, 100ml minyak tanah dan hasil pengetahuan yang pas-pasan.
Yang membuat saya dengan nekatnya harus memakan singkong karet untuk menghilangkan lapar saat gelap datang menjelang.
Ada fase dimana saya yang sangat buta mengenai ilmu medis, harus duduk dalam pelatihan selama 2 minggu lamanya di PMI cabang Kota Depok untuk mengikuti Diklatsar KORP Sukarelawan angkatan ke-2. Banyak cerita yang menyenangkan, tak sedikit juga yang penuh kesakitan dan menyulut kesadaran.
Tulisan ini adalah bentuk dari keresahan saya terhadap beberapa postingan di sosial media yang sibuk menjadikan bencana dan kecelakaan sebagai konten untuk menarik viewers, likes dan followers.