Lihat ke Halaman Asli

Ridhwan EY Kulainiy

Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Memori : Nasi Kuning dan Ritual Tahunan di Bulan April

Diperbarui: 23 Agustus 2020   05:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sorak-sorai dan gemuruh langkah kaki menyeruak memecah keheningan hari, matahari baru saja bertengger di puncak porosnya. Beberapa tawa canda bahkan makian terdengar menghiasi suasana siang itu, dimana bocah-bocah berseragam merah putih itu hilir mudik pergantian kelas. Sepasang bocah kelas 5 itu tengah asyik berbincang mengenai rencana mereka di esok hari, sambil beriringan di kooridor sekolah yang terdiri dari tiga kelas itu. Begitulah kira-kira masa kecil ku ketika duduk di sekolah dasar. Sekolah Dasar Negeri Mekarjaya 19 di bilangan Sukmajaya Depok, lantainya saat itu masih terbuat dari batu serupa keramik tapi agak kasar berwarna merah. Lapangan sekolahku gabung dengan lapangan SDN Abadijaya 5 yang merupakan tetangga sekolahku. Sebuah warung kecil yang menjadi kantin sederhana milik keluarga penjaga sekolah menjual berbagai makanan, mulai dari nasi uduk yang harganya murah pake banget, sampai buah-buahan alakadarnya seperti salak, kecapi dan jeruk yang harganya cuma 200 perak.

Jajanan lainnya di sekolah yang masih menjadi favorit ku sampai hari ini adalah sebuah jajanan serupa dodol yang di baluri sagu atau tepung (saya kurang tahu) lalu diberikan susu kental cokelat di atasnya, kita biasa menyebutnya rambut nenek lampir. Aku masih ingat penjualnya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku, juga teringat tukang cakwe yang biasa berjualan di bawah pohon kapuk besar yang terkenal angker di dekat sekolahku. Belum lagi ada pedagang lain yang berjualan macam-macam gorengan, ada pisang goreng kesamber petir yang nampak agak gosong tapi justru membuatnya menjadi lebih gurih dan nikmat. Berbagai penjual mainan, bahkan penjaja penyewaan game yang ketika sewanya sudah habis si Abang penjajanya akan menarik-narik tali yang terikat ke perangkat game elektronik itu. Undian-undian kecil seperti cabut tali, lempar bola dan lain sebagainya ikut meramaikan jalanan di depan sekolahku yang menyenangkan itu.

Hal yang paling ku ingat adalah ketika tiap tahun, aku selalu meminta kepada Ibuku untuk dibuatkan nasi kuning ketika ulang tahunku. Aku selalu mengajak beberapa teman dekatku untuk datang ke rumah, terutama seorang teman dekat yang bernama Halimatus Sadiah. Aku memanggilnya Teh Diah saat itu, karena usianya lebih tua satu tahun dariku. Diah sebenarnya, masih  ada hubungan kekerabatan denganku. Tapi aku tidak memahami dan tidak bisa menjelaskan bagaimana alur silsilahnya, yang jelas itu yang sering dikatakan oleh Almarhum Bapakku dulu. Diah adalah seorang gadis pintar, bermata sipit, kulit putih dan hidung mancung. Suaranya agak serak-serak basah, ia sangat menyukai tokoh kartun Haibara dalam serial Detektif Conan.

Kegemaran dan keahlianku dalam menggambar, sudah muncul sejak kecil. Aku sering membeli kertas sketsa dari tukang agar-agar (tukang mainan yang dipikul) atau dari tukang penjual gambar di depan sekolah, lalu aku mewarnainya dengan pensil warna. Dari situlah mulanya aku belajar menggambar, mulai dari meniru gambar yang sudah ada hingga mahir membuatnya tanpa perlu lagi melihat contoh. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu penyebab aku memiliki kedekatan dengan Diah, yang seringkali memintaku untuk menggambarkan tokoh Haibara dan Conan untuknya.

Biasanya dari jauh-jauh hari aku selalu mengingatkan Diah mengenai hari ulang tahunku, dan aku selalu mengajaknya lebih dahulu untuk datang ke rumahku sepulang sekolah. Kadang kami juga belajar bersama, entah itu di rumahku atau di rumahnya. Yang jelas, kami memiliki kedekatan yang sangat karib. Beberapa teman dekat lainnya yang masih ku ingat nama dan wajahnya adalah Rian. RA, Jaelani, Riski, si kembar Aisyah dan Azizah, para jago sepakbola seperi Malik, Madun dan Hasan, juga salah seorang temanku yang berdarah Aceh bernama Ali, dan Amelia Jufri yang merupakan juara kelas. Ah, aku rindu masa-masa kecil itu. Masa-masa dimana bau matahari menjadi parfumku, dan debu lapangan yang bercampur dengan keringatku.

Dahulu juga kami sering belajar bersama di rumah salah seorang teman bernama Misbah, ayahnya seorang guru mata pelajaran agama di sekolah. Di belakang rumahnya terdapat sebuah kebun dan tanah kosong untuk bermain bola. Aku rindu berjalan pulang ke rumah dan sengaja melintasi rumah walikelasku di kelas 4, sambil menyapa beliau yang tengah berjalan memasuki pagar rumah. Melewati belakang rumah Bu Suwarni yang dipagari tembok tinggi dengan rimbunnya pohon rambutan yang menjadikannya sejuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline