Lihat ke Halaman Asli

Ridhwan EY Kulainiy

Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Koffie Drinken 5: Sekolah ke Batavia (Betawi)

Diperbarui: 7 Maret 2020   05:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustasi Oleh Ridhwans Journal

Setahun berlalu JSB melakukan pergantian kepengurusan, di antara pengurus lama hanya Hatta yang tetap menjabat sebab pengurus lainnya harus meletakkan jabatan dan melanjutkan pendidikan di luar Padang. Saat itu Hatta kembali merangkap jabatannya sebagai bendahari sekaligus sebagai sekretaris, Hussein sebagai ketua dari murid kelas IB yang seusia dengan Hatta. Ia dianggap memiliki waktu yang cukup untuk memimpin perkumpulan. Selain itu, ia seorang yang pandai bicara dan bahasa Belandanya lancar. Ia juga pandai bergaul dengan orang-orangtua serta pandai mengambil hati mereka untuk memberi sumbangan kepada JSB.

Pada pertengahan Agustus atau September 1918, Sumatera Barat kedatangan Abdul Muis sebagai anggota Volksraad yang dibentuk oleh pemerintah Hindia-Belanda. Bukan suatu Dewan Perwakilan Rakyat biasa, melainkan suatu badan yang "akan mendengarkan suara rakyat". Pada masa itu kerja rodi sedang ramai dibicarakan di dalam pers. Pers putih menganggap rodi itu sebagai pajak in natura, yang dibayar dengan kerja keras. Pers Indonesia memandangnya sebagai suatu sistem kerja wajib yang sudah ditinggalkan zaman. Sistem kerja semacam itu harusnya sudah lama dihapuskan bersama-sama dengan cultursteel.

Sebagai seorang yang cukup dikenal, kedatangan Abdul Muis di Minangkabau disambut oleh rakyat dengan sangat meriah. JSB cabang Padang yang diwakili oleh Hussein dan Hatta ikut menjemputnya di Teluk Bayur. Meskipun JSB hanyalah perkumpulan sekolah menengah bawah, namun atas usaha Engku Marah Sutan JSB selalu dibawa serta. Seperti sering diucapkan Engku Marah Sutan dihampir semua kesempatan, "Anak-anak muda ini adalah harapan bangsa dan akan menjadi pemimpin rakyat pada masa datang. Dari mulai sekarang kita perlihatkan kepada mereka kewajiban mereka itu, kita bawa mereka berhubungan langsung dengan rakyat dan pemimpin-pemimpin rakyat."

Abdul Muis juga membahas soal Rodi dan mengatakan, "Dalam bahasa Belanda, rodi disebut heeredienst," Dan heeredienst artinya "kerja wajib untuk yang dipertuan". Cara ia menyampaikannya begitu terasa sindirannya dalam jiwa tiap-tiap orang yang mendengar, sehingga di muka mereka semua saat itu nampak rasa keji terhadap para penjajah. Sebab itu kita harus menuntut lenyap penjajahan.

Keanggotan Hatta dalam JSB mempunyai cita-cita yang tinggi terhadap tanah air dan ucapan-ucapan Abdul Muis yang memikat hati menjadi anjuran yang kuat baginya untuk memperhatikan persoalan-persoalan masyarakat saat itu. Hatta juga mengakrabkan diri dengan Sutan Said Ali yang merupakan seorang guru di sekolah Adabiah. Sebuah sekolah HIS partikelir yang didirikan oleh Sarikat Usaha. Sebagai seorang guru, St. Said Ali selalu bersikap lemah lembut, tetapi tajam penanya kalau membela suatu pendirian.

Tak sedikit pada masa itu juga orang-orangtua yang sudah berpihak pada pemerintah kolonial, sebab dari itu seringkali rodi di pandang sebagai adat istiadat yang sudah berlaku dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Hal inilah yang menyebabkan St. Said Ali berujar, "Kita harus membedakan adat yang asli dan adat yang diadatkan. Dalam adat yang asli tidak ada rodi. Rodi datang kemudian sebagai adat yang diadatkan. Diadatkan oleh nyinyik-nyanyak, kita atas perintah kompeni. Jadi bukanlah diterima sebagai hasil musyawarah ninik-mamak di Balai Adat Nagari."

Pada Mei 1919, Hatta lulus dalam ujian MULO penghabisan dan terbukalah jalan baginya untuk meneruskan pendidikannya ke Betawi. Hatta memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Prins Hendrik School (PHS) Sekolah Dagang Menengah lima tahun jurusan dagang dan diterima di kelas IV atau kelas awalan di bagian perdagangan. Akhirnya pada pertengahan Juni 1919, Hatta berangkat ke Betawi.

Sebagaimana kebiasaan Hatta untuk berziarah, maka sebelum ia berangkat ke Betawi. Ia putuskan untuk berziarah ke Batuhampar untuk meminta restu kepada Kakeknya sebelum berangkat. Nampak kesedihan di wajah Kakek Hatta. Sebab sedari mulanya Kakek Hatta ingin sekali supaya pendidikannya diteruskan ke sekolah agama. Teteapi sebagai seorang ahli Tarekat, Kakek Hatta menyerah kepada takdir Allah.

"Jalan hidupmu sudah ditentukan Allah," katanya lirih, "tetapi keyakinanku cukup kuat bahwa engkau tidak akan menyimpang dari jalan agama Islam, dan Allah. Mungkin pula pengetahuanmu kelak tentang agama tidak begitu luas seperti yang dimiliki seorang alim ulama, tetapi perasaan Islam sudah tertanam dalam jiwamu dan tidak akan hilang." Kakek Hatta tidak pernah memisahkan sifat keyakinan kepada agama yang berdasarkan kebenaran absolut dan sifat ilmiah kepada ilmu yang berdasarkan kausalitas. Bagi beliau agama ialah ilmu buat akhirat dan ilmu untuk duniawi jua. Hatta tinggal selama empat hari di Batuhampar untuk menemui sanak saudara dan kerabat, sebab ia akan melakukan perjalanan jauh ke Betawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline