Lihat ke Halaman Asli

Ridhwan EY Kulainiy

Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Jangan Panggil Saya Ustadz [Part 4]

Diperbarui: 7 April 2017   02:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingat betapa hari itu dunia serasa yengah berputar-putar pada ruang diskusi antara aku dan Sean. Kami membahas kejadian dan peristiwa yang terjadi ratusan silam, hanya bermodal pada dua kitab kuno dan juga bermodal pada gadget smartphone untuk mencari beberapa informasi yang kami butuhkan.

Gelas kopi kembali terisi, perbincangan berlanjut sampai pertanyaan Sean itu benar-benar mengujiku. Aku ingat betul beberapa pembelajaran sejarah yang coba aku temukan dan pecahkan. Pertanyaan Sean ini mestikah aku jawab, ku jawab atau tidak keduanya memberikan gambaran ketakutan yang aku rasakan. Namun karena rasa keingintahuan Sean sangat memancar di wajahnya, aku beranikan diri untuk setidaknya mulai membuka perlahan peristiwa-peristiwa yang aku sebut sebagai peristiwa sakral yang jarang sekali diketahui oleh orang-orang, terutama oleh orang Islam sendiri.

Perisitiwa itu dikenal sebagai Peristiwa Mubahallah. Riwayatnya tercatat di beberapa kitab sejarah Islam dan disebutkan singkat dalam Quran mengenai kejadian ini, seidaknya cukup tenang bagiku bahwa Sean mau membuka dan menerima informasi berdasarkan pada Quran dan Riwayat-riwayat yang aku berikan.

Rasulullah menulis surat kepada penduduk kristen Najran sebagai berikut:

“Amma ba’du. Sesungguhnya saya mengajak kepada kalian menuju kepada penyembahan Allah dari penyembahan kepada hamba. Dan saya juga mengajak kalian kepada kekuasaan Allah dari kekuasaan hamba. Jika kalian menolak ajaran tsb, atas kalian wajib membayar jizyah. Dan jika kalian menolak membayar jizyah, maka saya nyatakan perang terhadap kalian. Wassalam.”

Setelah Uskup membaca dan memusyawarahkannya, maka diputuskan untuk mengirim utusan sebanyak 14 orang tokoh mereka (ada yang menyebutkan 60 orang). Dari mereka ditunjuk 3 orang sebagai kepercayaan dan diserahkan urusan kepadanya. Mereka adalah Al-Aqib; pemimpin dan penasehat yang dipercaya mewakili pendapat mereka, Sayid; pemimpin perjalanan, dan Abu Al-Harits; uskup dan pemimpin lembaga pendidikan mereka.

Sebelum datang pada Rasulullah, mereka melepas baju musafir mereka dan menggantinya dengan pakaian kebesaran yang megah dan memakai cincin-cincin emas. Mereka lalu datang pada Rasulullah dan mengucapkan salam, namun beliau tidak menjawab salam mereka. Mereka mengulangnya kembali hingga lama namun tetap tidak dibalas.

Mereka lalu pergi dan menemui Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf yang saat itu tengah berada di kumpulan orang-orang Anshar. Di zaman jahiliyyah keduanya sering pergi ke Najran untuk membeli gandum dan buah-buahan mereka. Mereka bertanya “Hai Utsman dan Abdurrahman, nabi kalian telah mengirimkan surat pada kami sehingga kami datang kemari. Kami telah mengucapkan salam namun tidak dijawab, bahkan kami telah lama menunggu jawaban hingga lelah. Apakah sebaiknya kami pulang saja ?”

Mereka berdua bertanya pada Ali bin Abi Thalib (yang ada pada perkumpulan tsb) tentang ketiganya.

Ali menjawab, “Sebaiknya mereka melepas baju mewah mereka lalu berganti busana yang mereka kenakan di dalam perjalanan, baru kemudian datang pada baginda Rasulullah.”

Mereka melaksanakan anjuran Ali dan saat datang pada Rasulullah, salam mereka dijawab dan kehadiran mereka diterima. Rasulullah mengajak berdiskusi dalam waktu cukup lama; masing-masing pihak saling bertanya tentang berbagai masalah.

Mereka berkata kepada Rasulullah, “Kami telah terlebih dahulu muslim sebelum kalian.”

Rasulullah menimpali, “Kalian tidak mau mengikuti kebenaran Islam disebabkan 3 hal. Pertama, karena kalian menyembah Salib. Kedua, karena kalian memakan daging babi. Dan ketiga, karena anggapan kalian bahwa Allah memiliki anak.”

Mereka berkata “Mengapa engkau mencela Tuhan kami (‘Isa) dan engkau mengatakannya sebagai hamba Allah!”

Rasulullah menjawab, “Betul. Dia adalah hamba Allah, rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam.”

Mereka semakin murka dan berkata, “Apakah engkau pernah melihat ada manusia tanpa memiliki bapak? Jika engkau benar-benar seorang nabi maka tunjukan kepada kami contohnya!”


Maka kemudian Allah menurunkan kepada Rasulullah ayat Al-Qur’an untuk menjawab pertanyaan tersebut, firman-Nya:

“Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Rabbmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu.” QS. Ali Imran: 59-60

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline