Lihat ke Halaman Asli

Konsep Penanganan Terkait Dampak Rencana Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Diperbarui: 18 Desember 2015   14:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sebagai negara maritim mempunyai garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km. Wilayah laut dan pesisir Indonesia mencapai ¾ dari luas total wilayah Indonesia yaitu sebesar 5,8 juta dari 7.827.087 . Hingga saat ini wilayah pesisir memiliki sumber daya dan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia. Seiring dengan mulai berkembangnya zaman dan peradaban serta kegiatan sosial ekonominya, manusia kemudian memanfaatkan wilayah pesisir untuk berbagai kepentingan, dengan menimbulkan konsekuensi berupa permasalahan penggunaan lahan bagi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.

Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan untuk keberlangsungan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, kota-kota besar kemudian menengok daerah yang selama ini terlupakan, yaitu pantai yang umumnya memiliki kualitas lingkungan hidup yang rendah. Saat ini, daerah pantai di Indonesia menjadi pusat perhatian dan tumpuan harapan dalam menyelesaikan masalah penyediaan hunian penduduk perkotaan. Penyediaan lahan di wilayah pesisir dilakukan dengan cara memanfaatkan lahan atau pun habitat yang sudah ada, seperti perairan pantai, lahan basah, pantai berlumpur, dan lain sebagainya yang dianggap kurang bernilai secara ekonomi dan lingkungan sehingga diberntuk menjadi lahan lain yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi dan lingkungan atau dikenal dengan reklamasi.

Reklamasi adalah proses pembentukan lahan baru di wilayah pesisir atau bantaran sungai. Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanafaat. Kawasan baru tersebut biasanya dimanfaatkan untuk kawasan permukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan udara, perkotaan, pertanian, serta objek wisata. Seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk di kota-kota besar yang diiringi pula dengan meningkatnya kebutuhan lahan secara pesat, pemekaran ke arah daratan kemudian dianggap sebagai suatu kemustahilan mengingat mulai terbatasnya lahan sehingga diperlukan suatu ‘daratan baru’. Oleh karena itu, saat ini reklamasi merupakan salah satu langkah jitu untuk melakukan pemekaran terhadap kota. Seperti yang terjadi di Jakarta, khususnya di daerah Pantai Utara Jakarta atau biasa dikenal sebagai Pantura Jakarta.

Pantai Utara (Pantura) Jakarta yang membentang sepanjang 32 km dari Kamal Muara sampai Marunda tak lama lagi akan berubah menjadi daratan yang diisi dengan berbagai aktifitas yang mendukung perekonomian Jakarta. Proses reklamasi ini akan mengambil lebar dari bibir pantai ke arah laut sejauh 1,5 km dan kedalaman maksimal delapan meter, dengan lahan yang direklamasi akan menghabiskan lahan seluas 2.700 Ha. Adapun kawasan yang akan terkena reklamasi meliputi Kabupaten Bekasi di Timur hingga Kabupaten Tangerang di sebelah Barat.

Tujuan dari rencana reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara Jakarta ini antara lain : membangun kawasan waterfront yang akan memposisikan kota Jakarta sejajar dengan kota-kota penting lainnya di dunia; tercapainya pemanfaatan ruang berkualitas untuk mewujudkan kota Jakarta sebagai kota pelayanan yang strategis dan memiliki daya saing yajg tinggi dalam perkembangan dunia; mengendalikan pertumbuhan kota Jakarta ke arah Selatan untuk melindungi wilayah Selatan Jakarta sebagai daerah resapan air; mendorong orientasi perkembangan kota dengan menciptakan peluang ke arah Utara; efisiensi struktur kota melalui keterpaduan penggunaan lahan, prasarana angkutan, dan fasilitas perkotaan; akselerasi perkembangan prasarana angkutan massal demi efisiensi jalur angkutan umum Utara-Selatan dan Timur-Barat; mengembangkan program perbaikan, peningkatan, dan rehabilitasi kualitas lingkungan, termasuk upaya konservasi dan pemugaran fungsi ekologis kawasan Jakarta Utara; mempertahankan nilai historis cagar budaya melalui pemugaran; dan membangun kembali, memperkuat, dan menciptakan poros yang kuat antara Monumen Nasional dengan kawasan bersejarah di wilayah Jakarta Utara. Rencana kegiatan ini akan sejatinya telah dimulai sejak tahun 2003 hingga 2015, namun kemudian mendapatkan tantangan keras dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup karena akan memiliki dampak lingkungan yang besar. Sejatinya, rencana reklamasi yang meliputi rencana kegiatan pembangunan pusat bisnis, perkantoran, industri, pergudangan dan apartemen akan dilaksanakan hingga tahun 2010, sedangkan perumahan dan kawasan pariwisata yang rencananya terletak di bagian barat dan timur akan dibangun mulai tahun 2005 hingga tahun 2015.

Adanya perbedaan pendapat mengenai rencana reklamasi kawasan Pantai Utara Jakarta ini telah menumbuhkan suatu polemik berkepanjangan di ibukota sejak masih dalam kepimpinan Gubernur Sutiyoso hingga pemindahan tampuk kekuasaan telah berpindah ke tangan Gubernur Jakarta terpilih saat ini yaitu Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Saat itu, pemerintah berdalih bahwa proses reklamasi pantai telah sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta dengan pengurukan lahan sebesar 2.700 hektare laut di utara Jakarta, dengan harapan bahwa reklamasi yang dilakukan akan turut mampu memperbaiki kondisi lingkungan pantura Jakarta yang rusak. Namun, berdasarkan kajian amdal yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, kegiatan reklamasi yang dilakukan akan menimbulkan dampak lingkungan yang besar yang kemudian dibaregi dengan keluarnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (LH) Nomor 14 Tahun 2003 yang isinya menolak rencana kegiatan Pemerintah Provinisi DKI Jakarta yang akan mereklamasi kawasan pantura Jakarta yang kemudian terus berlarut-larut hingga saat ini dan menyebabkan proyek megah ini menjadi mangkrak. Lebih lanjut, selain berpedoman terhadap Keppres Nomor 52 Tahun 1995, landasan lain yang dijadikan acuan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarat auntuk melakukan reklamasi adalah Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 1995 yang mengatur tentang penyelenggaraan reklamasi di DKI yang dalam konsideransnya menyebutkan bahwa sesuai dengan Keppres Nomor 17 Tahun 1994, Kawasan Pantai Utara adalah termasuk kategori Kawasan Andalan yaitu kawasan yang mempunyai nilai strategis yang dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.

Setelah rencana reklamasi ini mengalami “pasang-surut” selama masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo dan Gubernur Jokowi, barulah pada masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ini isu rencana reklamasi kembali bergulir. Tak tanggung-tanggung, pada tanggal 23 Desember 2014 Ahok menerbitkan Keputusan Gubernur 2238 Tahun 2014 (mengacu pada Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta) yang memberi izin reklamasi langsung kepada PT. Muara Wisesa Samudra selaku anak perusahaan grup Agung Podomoro Land (APL) untuk melakukan reklamasi laut seluas 161 hektare yang melingkupi 17 pulau di Pantai Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara, dengan investasi diperkirakan mencapai Rp. 50 Triliun.

Hal ini kemudian membangkitkan pula polemik lama, dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menentang keras dikeluarkannya Keputusan Gubernur ini. KLHK dan KKP berargumen bahwa acuan yang digunakan Ahok sudah tidak relevan mengingat telah ada kebijakan baru yang mengatur mengenai reklamasi yaitu Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam Perpres ini, adapun pihak yang berwenang untuk mengeluarkan serta menerbitkan izin reklamasi terhadap wilayah yang termasuk wilayah strategis nasional adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, masih berdasarkan Perpres yang sama, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui oleh pejabat pemerintah sebelum menerbitkan izin reklamasi, yaitu pengantongan izin lokasi dan kewajiban melakukan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk memastikan bahwa rencana reklamasi itu tidak merusak lingkungan sekitar sebagai tahapan pertama dan penyusunan rencana induk reklamasi yang mampu menjelaskan berapa luas pantai yang akan ditimbun pasir atau diuruk serta material yang diambil untuk menimbun sebagai tahapan kedua. Apabila kedua syarat telah terpenuhi, pemerintah daerah baru diperbolehkan untuk melakukan pertimbangan terkait penerbitan izin pelaksanaan reklamasi pulau yang memungkinkan dilakukannya pembangunan. Alasan lain yang dikemukakan oleh pihak KLHK dan KKP yaitu banyaknya pipa bawah laut yang ada di Jakarta, yang membentang dari tengah Laut Jawa ke Muara Karang dan ditarik ke Tanjung Perak-Surabaya serta Tanjung Priok. Dikhawatirkan reklamasi yang dilakukan nantinya akan menimpa pipa kabel yang ada dan dinilai membahayakan.

Berangkat dari kacamata penulis, terlepas dari adanya pro-kontra yang terjadi terkait rencana reklamasi yang agaknya berlarut-larut ini, secara umum reklamasi memang seakan seperti dua sisi koin yang menawarkan hal-hal positif di satu sisi sekaligus hal-hal negatif di sisi yang lainnya. Tak dapat dipungkiri, keuntungan yang didapatkan ketika melaksanakan suatu rencana reklamasi terutama dalam mengembangkan suatu wilayah antara lain mampu memberikan pilihan penyediaan lahan untuk pemekaran wilayah, penataan daerah pantai, menciptakan alternatif kegiatan dan pengembangan wisata bahari, pulau yang dihasilkan mampu menahan gelombang pasang yang mengikis pantai, mampu menjadi bendungan untuk menahan banjir rob di daratan, serta mengurangi lahan yang dianggap kurang produktif. Hal-hal seperti inilah yang kemudian turut mendorong beberapa negara besar seperti Cina, Korea Selatan, Jepang, dan bahkan Singapura untuk melakukan program reklamasi mengingat makin menipisnya luas lahan yang dimiliki karena terus bertambah pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang berbanding lurus dengan tingginya permintaan terhadap lahan. Sejatinya, keberhasilan negara-negara ini dalam melakukan reklamasi karena sistem jaringan infrastruktur yang dibangun pada kawasan reklamasi selalu menghubungkan kawasan baru ke kawasan yang telah lebih dahulu berkembang, sehingga terkesan membentuk satu sistem dalam kawasan yang lebih besar (tidak secara eksklusif memisahkan diri menjadi kawasan tersendiri).

Namun disisi lain, mengingat bahwa reklamasi merupakan proses campur tangan manusia terhadap alam, tentulah kegiatan ini akan membawa dampak yang buruk bagi sekitar. Ditinjau dari dampak fisik, dampak yang akan terjadi yaitu perubahan hidro-oseanografi, erosi pantai, sedimentasi pantai, peningkatan kekeruhan, pencemaran laut, perubahan rejin air tanah, peningkatan potensi banjir, serta penggenangan di wilayah pesisir. Lalu, jika ditinjau dari dampak biologis yaitu terganggunya ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria, serta penurunan keanekaragaman hayati yang mencakup flora dan fauna yang ada. Terakhir, jika ditinjau dari dampak sosial, adanya reklamasi akan mempengaruhi hasil tangkapan dan berimbas pada penurunan pendapatan nelayan, buruh, dan petani tambak.

Selain itu, mengingat bahwa reklamasi memerlukan material urugan yang cukup besar yang tidak dapat diperoleh dari sekitar pantai, proses pengangkutan material ini akan mengakibatkan pada padatnya lalu lintas, penurunan kualitas udara, serta peningkatan debu dan kebisingan yang akan mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyrakat. Melihat keadaan teknologi, perizinan, dan proses birokrasi di Indonesia yang tidak bisa dibilang semewah seperti yang ada di negara-negara lain yang telah sukses melaksanakan reklamasi, pemerintah daerah di ibukota tentunya tidak bisa menjadikan keberhasilan di negara lain ini sebagai kiblat langsung dalam pemberlakuan reklamasi. Yang sekali lagi mungkin masih mampu untuk dilakukan adalah mencari alternatif lain seperti peningkatan penggunaan lahan dengan melakukan ekspansi seraya membenahi area hinterland atau peri-urban seperti Bekasi, Sukabumi, dan sekitarnya yang mungkin nantinya dapat dijadikan sebagai kota satelit atau kota baru yang dapat dijadikan para pengulang-alik/ commuter untuk tinggal dan bermukim. Contohnya yaitu keberhasilan BSD (Bumi Serpong Damai) menjadi penopang ibukota Jakarta dengan berbagai kelengkapan infrastruktur yang dimiliki. Hal ini diharapkan dapat mengurangi tanggungan beban lahan yang terjadi secara radikal di Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline