Lihat ke Halaman Asli

Ridho Putranto

Pembelajar

Mewujudkan Pendidikan Inklusif yang Berkeadilan

Diperbarui: 19 Agustus 2024   06:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

"Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia".

Kurang lebih, itulah bunyi dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 C ayat 1 yang mengatur terkait pemenuhan hak dasar, yang dalam hal ini adalah hak mendapatkan pendidikan agar meningkatkan kualitas individu demi kesejahteraan umat manusia. Di pasal yang lain, tepatnya pasal 31 ayat 1 dan 2 juga dijelaskan bahwa pendidikan merupakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara dan pemerintah wajib membiayainya. 

Dari kedua pasal yang tercantum di dalam UUD 1945, menjelaskan bahwa secara konstitusional, pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali dan hal ini menjadi salah satu tanggung jawab dari negara, selaku institusi yang menyelenggarakan program pendidikan untuk dapat memfasilitasi rakyatnya agar dapat mendapatkan akses pendidikan yang layak.

Bicara soal pendidikan, maka kita berbicara tentang sebuah proses fundamental untuk memanusiakan manusia. Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sistematis yang bertujuan untuk membentuk karakter dan kepribadian seorang manusia secara utuh. Pendidikan merupakan aset terpenting yang dimiliki oleh negara karena pendidikan adalah suatu upaya yang secara sadar untuk bagaimana menciptakan generasi-generasi yang berbudi pekerti luhur dan berintelektual dengan bertujuan untuk masa depan bangsa yang lebih baik. 

Di era modern ini, kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai kebutuhan umat manusia semakin lebih baik. Tuntutan persaingan sumber daya manusia (SDM) yang tinggi di zaman ini mengharuskan adanya pendidikan yang berkualitas dan berkompeten guna mewujudkan kualitas individual demi menunjang daya saing bangsa di tengah era globalisasi.

Namun, realitas berbicara sebaliknya. Pendidikan yang seharusnya dimaknai sebagai sebuah kebutuhan utama seakan dihiraukan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan semakin mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Narasi-narasi pesimistis yang terkesan merendahkan dunia pendidikan semakin marak bermunculan di media sosial. 

Hal ini menjadi hal yang cukup ironis mengingat pendidikan adalah salah satu indikator dalam visi pembangunan bangsa Indonesia. Salah satu yang memengaruhi kesadaran akan pentingnya dunia pendidikan terhadap masa depan adalah aksesibilitas atau daya jangkau masyarakat terhadap pendidikan. Pendidikan seringkali dinilai sebagai barang yang cukup sulit untuk diakses oleh beberapa kalangan masyarakat.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, pada tahun 2023 menunjukkan bahwa penduduk di usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah sekolah, jumlahnya sebanyak 2,96 persen. Selain itu, anak di pedesaan yang tidak atau belum pernah sekolah jumlahnya lebih tinggi dibanding mereka yang tinggal di perkotaan. 

Di pedesaan 4,64 persen, dan di perkotaan 1,75 persen (data.kompas.id). Dari data ini, kita melihat bahwa masih terdapat presentase penduduk Indonesia yang belum dapat mengenyam pendidikan dan rasionya terbilang sangat kecil. Selain itu, masih terdapat kesenjangan antara penduduk kota dan desa dalam mengakses pendidikan. 

Banyak variabel yang menjadi faktor terkait kurangnya akses masyarakat terhadap pendidikan. Salah satunya ialah biaya pendidikan yang semakin melambung tinggi. Biaya pendidikan ini adalah salah satu dari sekian banyak variabel berpengaruh cukup signifikan bagi kalangan masyarakat dalam mengakses pendidikan yang layak. Bagi beberapa kelompok masyarakat, biaya pendidikan ini menjadi salah satu hambatan dalam mengenyam bangku pendidikan.

Hal ini tidak terlepas dari praktik kapitalisasi pendidikan yang semakin marak akhir-akhir ini. Biaya pendidikan yang terlampau mahal adalah hasil dari implementasi pendidikan yang dikapitalisasi membuat pendidikan tak ubahnya seperti barang dagangan yang bebas untuk diperjualbelikan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline