Lihat ke Halaman Asli

Ridho Putranto

Pembelajar

Islam dan Kemanusiaan di Era Post Truth

Diperbarui: 15 Maret 2023   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Peradaban umat manusia saat ini sudah mencapai titik dimana kemajuan zaman akibat berkembangnya ilmu pengetahuan telah mendominasi hampir keseluruhan sektor kehidupan umat manusia. Dewasa ini, penggunaan teknologi digital adalah salah satu hal yang tidak asing lagi bagi keseharian kita dan yang terkhususnya adalah media sosial.

Media sosial banyak memberikan pengaruh positif bagi aktivitas keseharian manusia mulai dari sarana mempermudah komunikasi sampai menjadikan konten-konten di media sosial sebagai gaya hidup atau life style dan juga ada yang menjadikan media sosial sebagai tempat mencari penghasilan.

Menurut data dari We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Jumlah ini telah meningkat 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 170 juta orang. Adapun, Whatsapp menjadi media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. Persentasenya tercatat mencapai 88,7%. Setelahnya ada Instagram dan Facebook dengan persentase masing-masing sebesar 84,8% dan 81,3%. Sementara, proporsi pengguna TikTok dan Telegram berturut-turut sebesar 63,1% dan 62,8%.

Era Post-Truth dan Realitas Kebenaran Di Zaman Media Sosial

Berbicara mengenai media sosial, salah satu fungsinya adalah sebagai media atau sarana untuk menyebarkan dan membagikan informasi atau berita di berbagai belahan dunia. Arus informasi dan berita yang beredar di medsos bagaikan air bah yang mengalir deras tanpa ada hambatan. Gelombang informasi yang berkembang dengan begitu pesatnya dan juga kemudahan dalam mengakses membuat orang-orang saat ini begitu gampang dalam mendapatkan informasi terkini.

Begitu banyak informasi yang beredar di media sosial maupun internet. Namun, tidak semua berita maupun informasi yang beredar tersebut adalah sesuatu yang bisa dipertanggung jawabkan dengan baik. Internet mengizinkan satu miliar bunga untuk mekar, tapi beberapa diantaranya adalah yang berbau busuk. Informasi yang berkembang di medsos tidak semuanya merupakan hal-hal yang baik untuk dikonsumsi khalayak publik.

Salah satu contohnya adalah kabar hoaks atau berita bohong yang sering berseliweran di internet. Kabar hoax sendiri merupakan berita yang sengaja dibuat dengan tujuan yang manipulatif, yaitu bermaksud untuk menggiring opini publik kepada satu hal tertentu yang menyesatkan. Dengan kenyataan yang diputar balikkan, kabar hoaks mampu untuk mempengaruhi pola pikir, perasaan dan tindakan dari orang-orang.

Sehingga, informasi yang didapatkan adalah sebuah kepalsuan yang tak bisa dibuktikan secara valid kebenarannya. Tidak ada lagi standar validasi yang menjadi landasan objektif dalam menilai suatu berita karena kebenaran di selewengkan begitu saja demi memuaskan hasrat kepentingan si pembuat berita. Oleh karenanya, akhir-akhir ini muncul suatu istilah yang sering disebut "era post-truth".

Era post-truth (kebenaran pasca-fakta) merujuk pada sebuah era di mana opini publik terbentuk lebih berdasarkan pada emosi dan keyakinan pribadi daripada fakta konkrit yang ada. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat bernama Ralph Keyes dalam bukunya berjudul "The Post Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life".

Di era ini, keabsahan dari sebuah informasi yang beredar tak lagi dipertanyakan. Orang-orang dengan begitu mudahnya mengonsumsi informasi yang tersedia tanpa adanya pertimbangan kritis dalam mencerna isi dari informasi tersebut. Akibatnya, kabar-kabar bohong maupun berita hoaks yang merebak di berbagai platform media sosial menjadi "ranjau" tersendiri bagi para pembaca karena terkadang kita tidak tahu mana berita bohong atau hoax dan mana berita yang sungguhan.

Berdasarkan data dari kominfo, terdapat 9.546 berita hoaks yang tersebar di berbagai platform media sosial dalam kurun waktu Agustus 2018 sampai Maret 2022. Angka ini cukup mencengangkan mengingat bahwa angka pertumbuhan penggunaan media sosial yang terus naik dari tahun ke tahun. Sehingga bisa dikatakan bahwa kepalsuan adalah realitas kebenaran di era post truth. Dimana berita-berita yang benar dan sesuai fakta bisa saja tercampur baur dengan berita-berita yang tidak sesuai dengan fakta dan tak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan obyektif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline