Lihat ke Halaman Asli

Rizky Ridho

Mahasiswa

Kosmopolitanisme

Diperbarui: 7 Agustus 2017   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya ingin mencoba menuangkan apa yang telah saya pelajari dan saya baca mengenai topik ini. Judul artikel ini mungkin sederhana karena saya tidak tahu kalimat yang pas. Mudah-mudahan bermanfaat bagi semuanya.

Perpetual Peacemerupakan karya filosof yang cukup tersohor di dunia, Immanuel Kant. Bagi kalangan akademisi HI khususnya penganut paham liberalisme, nama Immanuel Kant sudah tidak asing lagi. Dalam karyanya, Immanuel Kant menyebutkan bahwa ada tiga aspek untuk mencapai kedamaian abadi. Salah satunya ialah konsep cosmopolitan.

Masih teringat kata-kata Kant yang sangat menggugah hati saya, kalimatnya seperti ini : "The rights of men as Citizens of the World in a cosmo-political system, shall be restricted to conditions of Universal Hospitality". Secara sederhana, kalimat ini menyatakan bahwa kita harus menerima orang yang "berbeda" dalam kehidupan kita. Namun, jika dielaborasikan lebih lanjut kalimat ini menyatakan kita harusnya menyadari bahwa dunia ini tidak homogen. Dengan kata lain, dunia ini terdiri dari berbagai agama, suku, ras, budaya, warna kulit, dan masih banyak lagi. Meskipun begitu, dengan kondisi yang seperti itu harusnya membuat kita lebih terbuka dan lebih menerima orang lain yang berbeda dengan kita walaupun dengan "strangers" sekalipun. Setiap orang sebenarnya berhak untuk mendapatkan hospitalityentah dimanapun kita berada.

Anggaplah kita yang berada di posisi sebagai strangers. Bahkan ketika kita masuk ke dalam lingkungan yang baru, insting kita mengatakan bahwa kita harus beradaptasi dengan kondisi dimana kita tidak mengenal siapapun. Apa yang kita lakukan? Kita mencari dan berkenalan dengan teman baru di dalam lingkungan baru. 

Dari awal perkenalan tersebut, sebenarnya kita telah menerapkan konsep "cosmopolitan" dalam lingkup yang kecil karena ada proses dialog yang sangat ramah yang telah dilakukan. Jika kita ke luar negeri, kita pasti akan bertemu dengan native disana dan menanyakan tentang arah sebuah alamat dan kita pasti mengharapkan jawaban dari si nativetersebut meskipun native tersebut menjawab tidak tahu tetapi kita telah mendapatkan hosipitality dari si native tersebut.

Konsep ini menurut saya mengandung prinsip toleransi dan pluralism. Toleransi dalam artian bahwa kita menghormati dan menghargai budaya dan adat istiadat seseorang yang berbeda dengan kita. Itu berarti kita mengakui adanya perbedaan yang dimiliki sehingga membuat kita lebih terbuka dan menerima keberagaman yang ada. Namun, keberagaman tidak membuat kita menjauhi seseorang melainkan kita belajar untuk hidup saling berdampingan satu sama lain. Terlebih dengan pesatnya arus globalisai membuat kita semakin mudah terhubung dan mengetahui budaya dan agama semua orang di dunia.

Konsep ini memang terdengar naf dan utopis, terutama bagi kalangan realis, namun jika mencermati bagaimana dinamika kehidupan sosial, sebenarnya kita telah menjalankan konsep tersebut dalam kehidupan kita. Mulai dari beragamnya teman-teman kita dari berbagai agama, suku, dan budaya adalah contoh kecil bagaimana penerapan konsep "cosmopolitan" ini dalam kehidupan sehari-hari. Jika konsep "cosmopolitan" ini diterapkan di seluruh dunia, mungkin akan tercipta suatu dunia dimana kita bangga akan keberagaman yang kita miliki, dimana kita selalu merasa puas ketika telah membantu orang lain dalam kesusahan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline