Sabtu (21/7), Pukul 1.30 dini hari, telepon saya sudah berdering. Jemputan yang saya sewa datang tepat waktu untuk mengantarkan saya pada trekking starting point ke Gunung Batur. Tujuan awal saya melakukan trekking ini adalah untuk melihat sunrise dari puncaknya.
Gunung ini merupakan salah satu gunung yang terkenal di Bali. Gunung berapi aktif ini yang terletak di kecamatan kintamani sering dijuluki sebagai "ibu" dari Gunung Agung.
Julukan ini diberikan karena Gunung Batur terlebih dulu ada jika dibandingkan dengan Gunung Agung. Bahkan, keterkaitan antara kedua gunung ini dialogikan dalam nilai spiritulitas budaya bali sebagai pasangan hidup, di mana Gunung Agung dianggap perwujudan pria (Purusha), sedangkan Gunung Batur merupakan perwujudan Pradhana (perempuan). Hal ini dipercaya masyarakat Bali bahwa kedua gunung ini merupakan satu kesatuan utuh yang hadir di Bali untuk memberikan kesuburan dan kesejahteraan.
Setelah menjemput saya, driver tersebut segera melajukan mobilnya ke Seminyak untuk menjemput dua orang wisatawan asing dari Australia. Selama perjalanan kami, kami berkenalan satu dengan yang lain. Mereka berasal dari kota Perth. Sebuah kota yang kata mereka di dominansi oleh dataran rendah/ padang belantara. Jadi, trekking gunung adalah hal yang pertama bagi mereka.
Sebelum sampai di trekking starting point, kami berhenti untuk sarapan subuh di suatu lokasi sekitar area Ubud, sekaligus bertemu dengan dua rekan lain grup kami yang berasal dari Hungaria. Simple breakfast yang disajikan berupa roti tepung pisang datar dengan pilihan menu minuman kopi atau teh panas. Cuaca dingin tajam mulai terasa karena kami telah memasuki area dataran tinggi di Bali. Kemudian kami berenam termasuk driver, bergegas menuju starting point yang berada pas di kaki gunung batur supaya tidak terlambat mengejar sunrise.
Sesampai di starting point tersebut, kami sudah ditunggu dengan banyak tour guide yang kebanyakan dari lokal sini. Maka jangan heran, sempat saya disangka sebagai tour guide yang oleh tour guide lain. Persepsi ini begitu kental karena masih jarang orang Indonesia (lokal) trekking ke gunung ini karena mayoritas besar yang mereka pandu berasal dari luar negeri.
Lama perjalanan menuju puncak kira-kira 2 jam lebih. Setiap orang dibekali dengan lampu senter, karena hari masih gelap. Perjalanan yang mendaki, terjal berbatu serta terkadang tercium bau belerang menjadi tantangan yang harus dilewati. Tidak jarang pemandu kami membawa kami ke jalan pintas, namun dengan konsekuensi lebih terjal sehingga kewaspadaan diri agar tidak tergelincir perlu kami tingkatkan.
Makanya, pemandu jalan selalu bertanya berulang-ulang kondisi kami, termasuk apakah kami mau rehat sejenak atau lanjut menempuh perjalanan. Selama perjalanan kami melihat langit subuh begitu cerah, walau di bagian timur bintang tidak tampak, pertanda terdapat gumpalan awan yang menghalangi. Udara yang dingin selama trekking nyaris tidak terasa karena panas tubuh ydan keringat yang mengalir selama berjalan dan mendaki.
Grup kami ternyata diisi oleh orang-orang yang kuat berjalan dan mendaki, buktinya kami tidak pernah berhenti/ istirahat, kecuali ketika pemandu kami minta izin sembayang di suatu titik ber-statue, dan tentu, saat sampai di puncak.
Akhirnya, tibalah kami di puncak gunung Batur dengan badan penuh dengan keringat, lelah yang pekat, dan tentu kaki yang mulai terasa pegal-pegal. Pemandu jalan segera mencarikan lokasi yang strategis agar kami dapat menikmati terbitnya matahari. Saat kami duduk, udara dingin pucak Batur makin tajam menusuk celah-celah tubuh, apalagi saya yang hanya memakai sendal dan sweater tanpa jaket.
Untuk mengurangi rasa dingin, saya mencoba memutari puncak gunung tersebut. Ternyata pas dibelakang kami, terdapat lekukan kaldera gunung yang sangat eksotis. Kaldera ini menjadikan puncak gunung Batur terbagi menjadi tiga area yaitu east point, west point, dan summit.