Lihat ke Halaman Asli

Rizky Ridho Pratomo

Menulis untuk mengeskpresikan apa yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata

Hidup Melambat Bukanlah Sebuah Dosa

Diperbarui: 26 September 2023   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Melambat. Mungkin kata ini terdengar aneh di dunia yang serba cepat. Dunia yang menuntut segalanya harus buru-buru. Sampai kesuksesan pun sekarang ada due datenya karena banyak orang yang sudah punya mobil dan rumah di usia sebelum 30 tahun.

Banyak informasi di media sosial yang secara tersirat dan tersurat, mendorong kita untuk sukses di usia maksimal 30 tahun. Seakan-akan ketika kita tidak mencapai apapun di usia 30 tahun, ada sanksi sosial yang akan kita terima. Oleh karena itulah, kita buru-buru untuk meraih masa depan yang kita impikan.

Tetapi, kalau kita mundur selangkah, melihat ke dalam diri, kita akan mendengar keluhan dari inner-self. Keluhan yang menginginkan kita lebih banyak berdialog dengan diri, menarik napas sejenak, dan menikmati hidup kita saat ini.

Apakah kita salah melaju cepat? Itu tidak salah. Semua orang pasti ingin mencapai banyak hal di usia 30 tahun, bukan 45 tahun. Punya mobil mewah, aset di mana-mana, tabungan 5 miliar. Siapa yang tidak mau semua itu?

Namun, terlalu fokus ke masa depan punya konsekuensi. Kita jadi lupa bahwa kita sudah mendapatkan berkah yang tidak terhitung jumlahnya: kesehatan, teman yang baik, mentor yang hebat, kebutuhan dasar terpenuhi, pasangan yang pengertian, komunitas yang suportif, orang tua yang menyayangi, adik yang menyenangkan, dan momen berkesan bersama orang tercinta.

Coba tanyakan dua hal ini kepada diri: Sudahkah kita berterima kasih dan bersyukur atas segala yang kita dapat hari ini? Sudahkah kita menyempatkan diri menghabiskan waktu bersama orang-orang tercinta? Jika belum, mungkin saatnya kita hidup melambat.

Slow living berarti melakukan sesuatu secara lebih sadar dan bermakna. Kita memprioritaskan energi kita untuk hal yang lebih penting, seperti keluarga dan cita-cita. Tidak selalu berkata "iya" terhadap semua yang tidak ada kaitannya sama visi. Kita mengurangi multitasking yang hanya menghabiskan energi kita. 

Singkatnya, kita menikmati proses untuk mencapai visi tersebut, hidup berkesadaran, dan menekankan kualitas hidup.

Tidak ada pilihan yang salah ketika memilih hidup melambat atau tetap cepat. Masing-masing punya konsekuensi. 

Kalau kita lebih memilih hidup melambat, mungkin kita harus siap mental jika melihat teman-teman kita yang lebih dulu sukses. 

Yang memilih untuk melaju cepat, harus siap terkuras energi fisik dan mentalnya. Siap-siap juga untuk sering kehilangan momen berkesan bersama teman dan keluarga. Harus mengencangkan sabuk karena me time akan berkurang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline