Lihat ke Halaman Asli

Rizky Ridho Pratomo

Menulis untuk mengeskpresikan apa yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata

Pentingnya Memisahkan Fakta dengan Interpretasi

Diperbarui: 4 Agustus 2023   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada 16 Juli lalu, Budi berulang tahun. Sayangnya, teman-teman dekat Budi tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Hal ini membuat Budi kecewa. Dia menyangka teman-temannya tidak lagi peduli dan benci kepadanya. Budi pun menjadi murung. Ada lagi kasus Fatma, yang ketika dia curhat kepada teman dekatnya di WhatsApp, temannya tidak membalasnya. Fatma bingung kenapa sampai tidak dibalas: apakah teman dekatnya kesal dengan Fatma atau bagaimana. 

Dua kasus ini adalah beberapa yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak orang yang tidak mendapatkan ucapan selamat ulang tahun ataupun balasan yang cepat. Tak jarang, ini memunculkan perasaan tertentu dalam diri kita. Ketika teman kita tidak membalas, kita kadang bertanya-tanya: apakah ada yang salah dengan dia atau dengan kita? Apakah teman kita menjadi ilfeel dengan kita? 

Kita menyangka bahwa teman-teman kita sudah tidak menyukai atau membenci kita. Oleh karena itu, asumsi-asumsi bermunculan di pikiran, yang menjadi sebuah cerita bagus di kepala. Percayalah, penulis juga sering merasakan hal tersebut. Rasanya berisik sekali di kepala. Isi pikiran penuh dengan interpretasi jenaka sampai menyedihkan tentang sebuah kejadian, termasuk teman dekat yang lama membalas WhatsApp. 

Pertanyaannya adalah apakah mereka benar-benar membenci kita atau itu hanya terjadi di kepala kita saja? Kita sering mencampuradukkan antara fakta yang terjadi dan interpretasi di pikiran kita. Contoh saja Budi yang langsung berasumsi bahwa teman-temannya membencinya dan tidak peduli dengannya. Padahal, itu hanya asumsi Budi saja. Bisa saja teman-temannya sedang mempersiapkan kejutan untuknya, sehingga urung mengucapkan selamat ulang tahun. Begitu juga Fatma yang menyangka bahwa temannya menjauhi dan tidak lagi memprioritaskannya. Bisa saja teman-temannya sedang melakukan pekerjaan yang penting. 

Padahal fakta dari dua kasus itu adalah: teman Budi tidak mengucapkan ulang tahun dan teman dekat Fatma tidak membalas WhatsApp. Itu faktanya. Sisanya adalah cerita-cerita karangan kita sendiri. Interpretasi tersebut tidak hanya terjadi di dua kasus ini, melainkan kasus-kasus lainnya, termasuk pekerjaan.

Mencampuradukkan antara fakta dengan interpretasi membuat kita tidak mampu melihat keadaan sebenarnya. Dan itu bisa berakibat pada pengambilan keputusan kita dalam hidup. Oleh karena itu, kita perlu memisahkan yang nama fakta dengan interpretasi. Michael A. Singer, pendidik dan penulis, mengatakan: "The best way to free yourself from this incessant chatter is to step back and view it objectively. Just appear like someone there is talking to you. Don't think about it; just notice it"  

Dari tips yang diberikan Michael A. Singer, kita bisa mulai dengan mengetahui mana yang merupakan interpretasi dari cerita-cerita yang muncul di pikiran. Agar kita bisa mengidentifikasi cerita kita, kita perlu dalam keadaan tenang. Hal ini karena semakin stres kita, suara atau cerita di pikiran semakin keras bersuara. Oleh karena itu, kita harus menenangkan diri, lalu identifikasi cerita kita, lalu mulai pisahkan mana yang fakta dan mana yang merupakan interpretasi. Dengan melakukan itu, kita bisa mengambil keputusan atau sikap dengan lebih bijak. Semoga membantu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline