Lihat ke Halaman Asli

Ribut lagi, Isu Pangan Jadi Komoditas Politik

Diperbarui: 6 November 2018   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perdebatan demi perdebatan terus terjadi silih berganti, terkait persoalan penyediaan bahan pangan di Indonesia. Gaduh seputar data produksi beras nasional perlahan menyurut, namun berganti dengan gaduh menyusul keputusan pemerintah mengimpor 100 ribu ton jagung pakan ternak.

Akademisi dan perwakilan kalangan petani sepakat, akar perdebatan soal pangan bukan berasal dari pengelolaan pangan itu sendiri, namun lebih pada sisi eksternal di mana pangan dijadikan semacam komoditas untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan sebagian kalangan. Terlebih menjelang tahun politik yang semakin dekat. 

Sebab, petani menurut Direktur Eksekutif Petani Centre Entang Sastraatmaja, tidak begitu peduli  dengan ribut impor. Khususnya di pulau Jawa yang sebagian petaninya adalah petani gurem dan buruh tani. Hanya sebagian kecil yang memiliki lahan di atas 2 ha. 

"Nah kalau kita lihat mereka, mereka tidak terlalu peduli dengan impor atau tidak. Yang penting bisa bekerja, bisa menyewa sawahnya, supaya kebutuhan hidup kesehariannnya terpenuhi. Nah impor ini menurut saya lebih banyak digaungkan di kalangan elit. Org yg punya kepentingan-kepentingan sesaat begitu. Mereka menggoreng isu impor ini menjadi sesuai yang sangat penting", ujar Entang. 

Petani, lanjut Entang, harus diyakinkan bahwa impor bukan sesuatu yang harus diributkan. Terlebih mengingat potensi yang ada untuk meningkatkan kapasitas produksi. 

"Nah kalau saya melihat impor ekspor itu hal yang biasa dalam perdagangan internasional. Kita harus yakinkan kepada temen-teman petani, bahwa impor ekspor buka sesuatu yang harus di heboh-hebohkan. Anggap saja itu sesuatu yang biasa dalam perdagangan internasional", kata Entang lagi. 

Hanya saja ia bertanya-tanya, benarkah Indonesia dengan segala potensinya di bidang pertanian harus banyak melakukan impor komoditas pangan?

"Masa sih kita punya potensi punya kekuatan kok tiba-tiba harus melakukan impor. Jadi kan kalau menurut saya soal kebutuhan dan lain sebagainya, dengan data (BPS) yang baru ini sebetulnya kita tidak perlu melakukan impor. Tinggal sekarang bagaimana kita menggenjot supaya produksi kita terus meningkat sekalipun kita berhadapan dengan kondisi-kondisi alam yang memang sulit untuk kita lawan", jelasnya. 

Mengapa Harus Ribut ? 

Akal sehat Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Ujang Paman Ismail terusik, mengikuti diskusi pelik dan pemberitaan berkepanjangan di media massa terkait impor jagung. Ia sangat menyayangkan kebijakan impor jagung maksimal sebesar 100 ribu ton oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution -- yang jumlahnya sangat kecil tersebut dikait-kaitkan dengan kegagalan produksi petani kita di dalam negeri dan pembenaran kegagalan program pertanian secara luas. 

"Sejatinya dalam definisi kedaulatan pangan di negara manapun,  swasembada dan impor merupakan dua hal yang tidak bisa disandingkan atau dipertentangkan. Karena swasembada lebih memiliki orientasi kecukupan produksi dalam negeri, sementara impor bisa lebih banyak terkait pada upaya untuk stabilisasi harga melalui distribusi antar wilayah atau bahkan lintas negara", terang Ujang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline