Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memaparkan hasil penelitiannya dalam sebuah seminar tentang hasil simulasi kenaikan muka air laut dan dampaknya terhadap Jakarta, yaitu seluas 160,4 km2 (24,3%). Dalam penelitian tersebut, Jakarta diprediksi akan tenggelam pada tahun 2050.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Profesor Hasanudin dari Institut Teknologi Bandung (ITB), telah terjadi tren kenaikan permukaan air laut sebesar 1 cm setiap tahunnya akibat perubahan iklim. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Cyntia dan Pudja (2018) dengan metode Differential Interferometric Syntetic Radar (DInSAR), juga menunjukkan bahwa DKI Jakarta telah mengalami penurunan permukaan tanah setiap tahunnya. Presiden USA, Joe Biden, memiliki pendapat yang sama dalam pidatonya di Kantor Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat (ODNI) pada tanggal 27 Juli 2021.
Menurut perkiraannya, Jakarta akan tenggelam pada tahun 2031 berdasarkan penelitian perubahan iklim dan pemanasan global. Namun, jika ditarik makna yang lebih luas, bisa saja perkataan Joe Biden tersebut merupakan pesan untuk mengajak semua dalam mengurangi emisi karbon dan lebih memperhatikan isu pemanasan global.
Ancaman penurunan permukaan tanah tersebut tentunya tidak terjadi tanpa alasan, melainkan ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan atau bahkan mempercepat tenggelamnya Jakarta. Faktor pendorong tersebut antara lain eksploitasi air tanah yang berlebihan dan tanpa pengawasan pemerintah, pembangunan yang masif, karakteristik alami wilayah Jakarta yang berada di dekat laut dan terdapat 13 sungai di dalamnya, kurangnya daerah resapan air, serta perubahan iklim.
Permasalahan eksploitasi air tanah di Jakarta disebabkan oleh pemakaian air tanah yang tidak terkontrol oleh perumahan, kawasan komersial dan industri, permasalahan pada perencanaan kota yang buruk, serta jumlah penduduknya yang terus bertambah dengan sangat cepat.
Dengan total penduduk 11,34 juta jiwa per Desember 2023, Perusahaan Air Minum (PAM) DKI Jakarta sebagai penyedia air minum melalui saluran pipa hanya mampu menjangkau 67% dari total kebutuhan air bersih di Jakarta. Terlebih lagi, distribusinya hanya terkonsentrasi pada wilayah yang relatif berpenghasilan tinggi di selatan dan pusat Jakarta.
Dengan demikian, tidak tercukupinya kebutuhan air bersih tersebut membuat warga Jakarta memompa air tanah secara berlebihan akibat laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Pada akhirnya, hal tersebut menuntun Jakarta pada penurunan permukaan tanah hingga ke titik tidak cukupnya pengisian air tanah kembali (recovery).
Pajak Air Tanah sebagai Regulatory Mechanism Tax (existing)
Dampak negatif dari eksploitasi pengambilan air tanah yang dilakukan secara berlebihan dapat dikendalikan, salah satunya dengan penerapan kebijakan pajak. Menghadapi permasalahan tersebut, Pemerintah DKI Jakarta telah mengambil beberapa langkah nyata dalam menghadapi penurunan tanah Jakarta. Selain dengan melakukan inspeksi rutin untuk mengecek penggunaan air di gedung-gedung bertingkat, Pemerintah DKI Jakarta juga telah membuat regulasi perpajakan.
DKI Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 17 tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (PAT) yang diturunkan melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 38 tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah. PAT tidak hanya berfungsi budgetair, tetapi juga memiliki fungsi regulerend sesuai dengan huruf (b) Pergub DKI Jakarta Nomor 86 tahun 2012 tentang Nilai Prolehan Air Tanah sebagai Dasar Pegenaan Pajak Air Tanah dalam rangka pengendalian, pengambilan, dan pemanfaatan air tanah yang saat ini berpotensi dapat menyebabkan menurunnya permukaan tanah dan terganggunya konservasi air tanah di DKI Jakarta.
Pemerintah DKI sampai saat ini telah melakukan berbagai upaya mengurangi pemanfaatan air tanah yang melebihi kapasitas recovery air tanah dengan menaikkan tarif PAT sembari meningkatkan distribusi air bersih melalui saluran pipa. Namun demikian, penggunaan air tanah cenderung masih fluktuatif yang menggambarkan bahwa pemakaian air tanah secara masif masih terus berlangsung.