Lihat ke Halaman Asli

Apa Kamu Belum Kapok dengan Penyesalan?

Diperbarui: 4 September 2016   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Penyesalan selalu hadir di akhir, kalau di awal namanya pembukaan”, kalimat yang sedari dulu terucap dari tetua-tetua dalam hidupku, terutama ayahku dan guruku. Awalnya kalimat itu adalah kalimat biasa yang tak kuhiraukan bagaimana efeknya kelak. Menurutku kalimat itu hanyalah kalimat fiktif yang hanya menakuti masa bermainku seharian penuh. Hanyalah hantu yang hanya ada dalam sinetron yang tak pernah terbukti kehadirannya.

“Masa bermainku”, ya aku sangat mencintai masa itu. Dalam hariku yang aku butuhkan hanyalah bermain sampai lapar lalu makan lalu main lagi sampai lelah dan akhirnya tertidur lalu berganti hari dan dimulai dari bermain lagi. Aku sangat ingat sekali  mainan yang paling aku sukai adalah bongkar pasang, adalah mainan yang terbuat dari kertas setebal sampul buku tulis lalu terbentuk gambar-gambar lucu berupa gadis berbi dengan pakaian dan segala aksesorisnya yang menggemaskan. 

Yang kedua adalah pasar-pasaran, mainan yang sangat lazim di kalangan putri kecil. Bermain dengan daun, air, kaleng susu bekas, pisau, lalu diramu seolah menjadi makanan yang lezat dan sedap. Hahaha, tak ada lucunya mainan itu semua namun selalu terngiang dalam pikir. Ketika tangan harus tersayat pisau, kulit yang tiba-tiba gatal karna tak tahu ada ulat bulu di daun, kadang marahan dengan teman karna merusak pasar-pasaran.

Masa itu berjalan cukup lama. Hingga aku harus sering mendapat omelan dari ayah karna aku jarang berlajar. Membuka buku hanya diwaktu mengerjakan PR dan disekolah. Selain itu aku rasa tidak perlu. Aku ingat sekali sepanjang hari ayah memarahiku, dengan suara yang tegas mata melotot. 

Aku ingat sekali rautnya, matanya hampir tidak berkedip udara disekelilingnya hampir tak dihirup. Saat itu juga aku takut tiba-tiba saja ayah lupa bernapas dan lupa bagaimana cara bernapas. Namun akulah yang kala itu harus termehek-mehek menghirup udara, karena tangisku yang sudah tak terbendung. Air mata lumer keseluruh muka, ingus mbeler kebawah hingga melintasi bibir. Terasa asin, entah itu rasa air mata atau ingus.

“Baca, baca, baca rid! Kamu tahu kenapa ayah beri kamu nama ridha?”

Aku menggeleng.

“ketika ayah atau ibu atau orang lain (atau Tuhanmu) memanggilmu rid, ayah berharap itu adalah doa untukmu, agar kamu gemar membaca”

“gak nyambung yah” jawabku terputus-putus

“bahasa inggrisnya baca read, cara bacanya itu rid”

“kamu nanti menyesal nak, inget-inget omongane ayah iki”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline