Baru kali ini saya ketemu langsung dengan seorang perawat asli asal Papua yang sudah senior. Pak Edison saya memanggilnya.
Pak Edi diangkat sebagai anak asuh sewaktu masih umur 10 atau 12 tahun, sekitar tahun 1986 lalu oleh Bapak Isak JH Tukayo.
Waktu itu Pak Isak sedang bertugas di pedalaman Kabupaten Yahukimo, jalan kaki 2 hari dari Wamena. Kecuali naik pesawat kecil bagi yang punya uang.
Oleh Pak Isak yang dipindah-tugaskan balik ke tempat asalnya di Jayapura, pak Edi ikut serta ke ibukota Papua.
Namun sesudah dewasa, Pak Edi balik lagi tahun 1995 ke Wamena untuk sekolah SPK. Kemudian mengabdi di sana sebagai perawat hingga kuliah lagi serta menjabat sebagai dosen di sebuah kampus negeri Poltekkes hingga kini.
Berikut ini beberapa cuplikan pengalamannya sebagai perawat di Papua:
"Tanpa bermaksud menghalangi minat teman-teman untuk mengarugi profesi mulia sebagai perawat, saya ingin sampaikan bahwa menjadi perawat di Papua itu tidak mudah. Dari banyak sisi, perawat Papua jauh berbeda dengan perawat-perawat provinsi lain di Indonesia. Walaupun memang ada beberapa yang menguntungkan menjadi perawat di Papua. Tetapi jangan berharap bahwa keuntungan tersebut mampu menutupi kekurangan atau tantangan besar yang dihadapi oleh perawat Papua," kata bapak enam orang anak ini.
"Saya ingin sampaikan keuntungannya dulu sebagai perawat Papua. Sebagian perawat Papua ada yang mendapatkan tunjangan Papua, tetapi tidak semuanya. Dan jumlahnya tidak seberapa, berkisar Rp 200-300 ribu. Akan halnya saya yang statusnya pegawai pusat, tidak mendapatkannya.
Ia menerangkan bahwa harga-harga di Papua tinggi khususnya di pedalaman. Dari harga beras, gula, hingga bahan-bahan bangunan. Semuanya sangat mahal di sana.
"Padahal, gaji kami ya... sama dengan teman-teman yang ada di Jawa," ujar pak Edi yang menyelesaikan pendidikan S2 Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019 lalu.