Hari ini saya membaca berita tentang jumlah utang negeri ini yang terus menggunung. Diprediksi, tiap tahun Indonesia akan bayar tanggungan Rp 1000 Triliun. Demikian kata ekonom senior Institute for Development and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini dalam sebuah diskusi online bertajuk "Politik APBN dan Masa Depan Ekonomi" yang diselenggarakan INDEF hari ini (2/9/2020).
Utang kita semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2019, Pemerintah Jokowi utang sebesar Rp 921.5 triliun dengan membayar utang sebesar Rp 475.2 triliun. Sementara membayar bunganya saja sebesar Rp 275 triliun. "Jadi setiap tahun Pemerintahan Jokowi membayar utang Rp 750 triliun setiap tahun." Ujar Didik J. Rachbini (Repelita Online, 2/9/2020).
Budayakan Utang
Hampir tiap hari saya menerima SMS di HP atau WA dari agen-agen Finance atau atas nama Koperasi, isinya nawari utang. Ada yang menyebut detail besaran pinjaman, tanpa angguna. Ada pula yang dengan iming-iming Bunga kecil hanya 2% setahun.
Di ruko sebelah rumah, ada dua Agen Distributor Motor terkenal. Saat saya tanya berapa persentase pelanggan yang hutang, dijawabnya 90% orang membeli dengan system kredit.
Belum lagi di kantor-kantor dan aneka jualan online yang menawarkan bayar dengan system nyicil. Semuanya menjanjikan 'kesejahteraan' di muka. Terlilit di belakang. Enak di depan, susah di belakang. Akibatnya, rakyat sudah terbiasa dengan system kapitalis ini.
Kita dibudayakan dengan propaganda kalau tidak utang, tidak akan maju. Kalau tidak utang, kita sulit hidup sejahtera. Padahal, semuanya fatamorgana. Tidak sedikit masyarakat yang hidupnya sengsara karena terbelit lehernya karena utang. Bahkan tidak jarang hingga akhir hayatnya.
Kamuflase
Beberapa kali kami kedatangan tamu dari mancanegara, asal India, Pakistan dan Filipina. Mereka begitu senang melihat Indonesia. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Malang dan Bali. Mereka takjud dengan sarana dan prasarana yang kita miliki. Saya tersenyum di muka, sedih di hati.
Jalan-jalan tol yang mulus, gedung pencakar langit, mall-mall yang menggoda, serta aneka tempat wisata yang menawan. Mereka tidak tahu bahwa itu semua dibangun dengan jalan hutang.
Kalau tidak hutang, mengapa mesti kita harus 'bayar' hanya karena lewat Toll? Di Timur Tengah, tamu kami asal Saudi, Kuwait, Qatar, heran karena kita harus bayar ketika lewat Toll. Mengapa lihat pantai harus bayar mahal? Di India, kata Mr. Chacko, teman kami, ke pantai gratis. Di kita minimal Rp 20.000.