Di daerah kami, Sigli, boleh dibilang tidak ada pendatang keturunan China atau Tionghoa. Saya pertama kali menemui komunitas mereka sesudah kuliah di Ibu Kota Provinsi Aceh, Banda Aceh. Di sana terdapat pemukiman khusus orang China yang bernama Peunayong.
Sebetulnya aneh juga, saya ini orang Aceh, tapi tidak banyak tahu tentang wilayah Aceh. Maklum, etnis Tionghoa tidak banyak jumlahnya di sana, tidak seperti di Jawa. Meskipun demikian, di Aceh terdapat juga sebuah organisasi khusus etnis Tionghoa di Aceh yang bernama Yayasan Hakka Aceh.
Peunayong merupakan salah satu pusat perdagangan di Kota Banda Aceh. Peunayong inilah yang juga dikenal dengan China Town-nya Aceh. Saya dengar, kata "Peunayong" berasal dari bahasa Aceh yang artinya "memayungi". Daerah ini dulunya dihuni beragam etnis.
Sebagai salah satu daerah tertua di Banda Aceh, dalam sejarahnya Peunayong didesain oleh Belanda sebagai Chinezen Kamp (tenda) atau Pecinan.
Menurut Wikipedia, Peunayong dihuni warga Cina dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian dan sub-etnis lainnya. Kegiatan perdagangan di kawasan tersebut, cukup menonjol. Karena berdagang merupakan mata pencaharian utama suku Cina, yang umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis.
Pesugihan Orang Tionghoa
Kami orang Aceh tahu, pedagang China rata-rata hidupnya jauh lebih baik dari pada mayoritas orang Aceh. Mungkin ada yang tidak "kaya", tetapi kehidupan sosial ekonominya lebih baik dari kami.
Walaupun saya sebetulnya tidak terlalu percaya dengan klenik, ilmu pesugihan, penglaris dan sejenisnya, kami orang Aceh banyak yang masih percaya dengan 'Ilmu Hitam' ini. Terutama di wilayah Aceh Selatan.
Pertanyaannya adalah, mengapa orang-orang Tionghoa ini bisa "cepat" berhasil, kaya dan bisnisnya gampang berkembang? Ada yang bilang mereka pelihara Tuyul. Ada lagi yang menggunakan Ilmu Pesugihan. Ada pula yang bilang mereka gunakan Klenik Penglaris.
Rasa ingin tahu saya lebih besar lagi ketika datang ke Jawa. Di Malang, tempat saya tinggal sementara saat ini, ada juga Pecinan, yakni tempat di mana banyak orang China berdagang. Jauh lebih banyak jumlahnya dari pada orang Tionghoa di Peunayong.
Di Jawa, lebih kental dan lebih deras rumor tentang Pesugihan ini. Setidaknya itu yang saya dengar dari Pak Jumain. Seorang Tukang Pijat yang kadang diminta datang ke rumah tempat saya tinggal. Beliau asal Gunung Kawi, sebuah tempat yang katanya sebagai tempat terkenal mencari Pesugihan.
Apa benar orang-orang Tionghoa ini memelihara Tuyul, memburu Ilmu Pesugihan/Penglaris, atau karena kerja keras yang membuat mereka berhasil dalam bisnis atau dagangnya?