Kami baru saja kami membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Memang tidak banyak jumlahnya. Tetapi pajak tetap pajak yang merupakan sumber penerimaan negara. Dari 267 juta jiwa tentu banyak jika dikumpulkan.
APBN adalah semua bentuk penerimaan yang berasal dari rakyat, yang bukan hanya PBB, tetapi juga pajak penghasilan, pajak perabahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak ekspor, pajak perdagangan internasional serta bea masuk dan bea cukai, digolongkan dalam kagetori penerimaan negara.
Ini semua jika dikumpulkan merupakan sumber utama yang didapat dari APBN. Kayaknya seperti ini kira-kira maknanya jika disederhakan asal muasal APBN.
Akhir-akhir ini marak berita yang terkait Tunjangan Tenaga Medis yang terlibat dalam penanganan Covid-19. Besar tunjanganya mencapai Rp 75 Trilliun. Yang sudah dialokasikan ke Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DPA) Kementerian Kesehatan baru Rp 1.9 Triliun (Kompas, 5 Juni 2020). Berarti masih 2.26% dan sisanya (97.74%) atau Rp 73.1 Triliun masih dalam proses.
Pemahaman kami, duit segitu banyak pasti bermula dari uang rakyat, termasuk pajak kami di atas.
Prosedurnya Ruwet
Dalam orang awam, pajak, APBN dan sejenisnya, pasti sulit memahami seluk beluk mekanisme pengurusan ini, tentang bagaimana proses pencairan dana, pengusulan daftar tenaga kesehatan (Nakes) yang berhak menerima tunjangan dan lain-lain. Pasti bukan persoalan mudah. Yang kami mengerti hanya ada tiga hal, yakni berhak dapat tunjangan, kira-kira berapa besarnya serta kapan keluarnya.
Sejak awal Juni lalu Menkes sudah diminta oleh Ketua MP, Bambang Soesatyo, untuk segera menyelesaikan verifikasi data tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 , sebagaimana yang dijanjkan oleh Pemerintah. Pemerintah Daerah juga diminta segera menyampaikan usulan daftar nakes secepatnya ke Kemenkes (Kompas, 5 Juni 2020).
Jumlah tunjangannya, Rp 15 juta maksimal untuk dokter dan Rp 7.5 juta untuk perawat serta Rp 5 juta untuk tenaga kesehatan lainnya (CBBC Indonesia, 2 Juni 2020).
Menurut Direktur Dana Transfer Khusus Direktorat Jenderal Perimbangan (DJPK) Kementrian Keuangan, Putut Hari Satyaka, sampai saat ini realisasinya belum ada.
Ini disampaikan dalam video live streaming yang disiarkan oleh Bappenas RI lewat akun You Tubenya (2/6/2020). Hal ini disebabkan karena prosesnya tidak sederhana. Data yang diajukan oleh masing-masing daerah pun harus diverivikasi juga butuh waktu yang tidak singkat, kata Putut.
Ternyata, mekanismenya, di daerah ruwet, di pusat lebih ribet.