Orang bilang, manusia Indonesia itu terkenal akan ramah-tamahnya. Memang benar. Orang kita suka menyapa, tersenyum dan membantu. Apalagi orang Jawa ini. Saya datang ke Pulau Jawa ini pertama kali tahun 2014. Ada perbedaan budaya antara orang Jawa dengan Aceh.
Semula saya heran, orang-orang ini tidak kenal koq ya menyapa. Senyum lagi. saya merasa kami orang Aceh sudah ramah. Ternyata ada yang 'lebih' ramah lagi. Keheranan saya pupus ketika ternyata saya lihat di mana-mana, setiap ketemu, orang pada menyapa 'monggo, pinarak, inggih, matur nuwun, ngapunten' dan sejenisnya.
Orang Jawa sangat sering menggunakan kata 'nyuwun sewu' (permisi, excuse me). Misalnya lewat di kerumunan, atau lewat di depan orang-orang yang sedang duduk. Mereka juga sering menggunakan kata-kata 'ngapunten' (maaf, sorry). Serta satu lagi yang paling sering dibanding kata-kata lainnya: 'matur nuwun' (Terima kasih, thank you).
Kata-kata ini bagi orang Jawa dianggap sebagai ungkapan yang sangat sopan. Sedemikian besar peran ungkapan ini dalam sehari-hari, sehingga tingkat kesopaan seseorang diukur dari seberapa sering menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang sering menggunakanya dianggap sopan dan baik. Sebaliknya, yang tidak menggunakannya dianggap tidak tahu sopan santun atau tidak tahu aturan 'tata krama'.
Apa mungkin karena ramah tamahnya orang-orang ini sehingga penjajah betah di negeri kita? Kita tahu, orang Perancis, Jerman, Inggris, tidak gampang senyum pada 'strangers'. Mereka tidak mudah tersungging atau memberikan senyum pada orang asing. Apalagi bicara. Mereka pelit. Ditanyapun, belum tentu 'menyenangkan' jawabannya. Meski demikian, tidak serta merta kita dapat menyalahkan mereka. Karena budayanya memang demikian.
Makanya, ketika melihat orang-orang kita 'tersenyum', para penjajah ini dulu merasa 'sangat welcome'. Orang kita, disakiti pun, masih bisa senyum. What a wonderful personality. Ironisnya, di bangku sekolah, tidak bisa jawab pertanyaan guru, juga dijawab dengan senyuman. Lho?
Enam belas tahun saya belajar di sekolah. Selama itu pula tidak pernah saya diajar tentang 'Bahasa Universal'. Bahasa universal adalah ungkapan yang sama di seluruh dunia. Sebuah perbendaharaan bahasa yang di manapun sama dan bisa diterima dengan pengertian dan pemahaman yang sama pula.
Apa yang kami pahami di Aceh, Medan, Jakarta, Bandung, Bali, Kalimantan, Jatim, bahkan bagi orang Filipina, Arab Saudi serta India. Semua yang saya perah temui, memberikan ekspresi yang sama.
Tiga kata tersebut ternyata merupakan ungkapan universal yang digunakan di seluruh dunia. Betapapun tanpa senyuman, tidak akan mengurangi arti. Ucapan permisi, maaf dan terima kasih, adalah ungkapan manusia universal yang menunjukkan peradaban.
Orang mungkin beda menafsirkan makna tangan kanan dan tangan kiri. Di Barat, memberi dengan tangan kiri dianggap biasa. Di kita, dianggap tidak baik. Namun, baik di Barat maupun di Asia, terkait ucapan 'terima kasih' sama maknanya. Jika diberi bantuan, apakah fisik, social, psikologis atau spiritual, jika yang diberi tidak menyamaikan ucapan terima kasih dianggap sebagai orang yang tidak tahu diri.
Demikian pula dengan makna 'maaf'. Mereka yang mengganggu orang lain baik sengaja maupun tidak sengaja, di manapun berada, menggunakan ekspresi yang sama, yakni kata 'maaf' (Sorry).