Saya tidak mau munafik. Ketika dinyatakan positif Corona dalam diagnosenya, pikiran ini jadi tidak tenang. Bisa dimengerti, karena kita hidup tidak sendiri. Ada keluarga, anak-anak- cucu-cucu, tetangga, rekan kerja, komunitas dan masyarakat lainya. Mindset mereka terhadap penyakit yang satu ini: menakutkan. Sebagai makhluk sosial saya tidak bisa mengatakan bahwa saya ok-ok saja saat diagnosanya positive. However, my life must go on....
Dua hari sesudah hasilnya dinyatakan positive, saya agak gunda. Pada akhirnya memutuskan untuk mondok di rumah sakit. Keputusan ini kami ambil dengan berbagai pertimbangan. Individu, keluarga, komunitas, profesi dan masyarakat. Saya pun diisolasi. Sepi, menyendiri. Di sebuah RS di Jayapura, Papua. Inilah salah satu konsekuensi terberat, jauh dari keluarga dan masyarakat sebagai penderita Corona. Sekalipun secara fisik, saya tanpa gejala (asimtomatis).
Kamis pekan lalu, tanggal 28 Mei 2020 saya masuk RS. Adalah bohong jika ada orang bilang enak-enakan mondok di RS, betapapun menu makanannya kayak hotel bintang lima.
Semua mata rasanya tertuju ke saya. Mulai dari setiap anggota keluarga, teman-teman kantor hingga masyarakat, seolah mereka pada mulanya tidak ada yang percaya bahwa saya 'sakit'. Karena secara fisik, saya fit. Saya tidak merasakan ada keluhan yang berarti, kecuali sebulan sebelum itu memang ada gejala seperti flu dan batuk-batuk. Sesudah dinyatakan positive, malah saya merasa 'sehat'.
Hanya saja advis dokter harus dipatuhi. Saya dianjurkan mondok. Sepuluh hari lamanya saya tidur di RS seperti 10 bulan. Malam-malam pertama susah tidur karena lingkungan yang berbeda. Walaupun saya merasa sehat, tetapi tetap saja harus diperlakukan sesuai protocol kesehatan. No visitor, full stop. Tidak boleh ada pengunjung.
Bisa ditebak apa kegiatan saya?
Baca buku, kirim email, WhatsApp, Facebook, Instagram. Dua HP ada di tangan. Satu untuk urusan kantor, yang satunya untuk kebutuhan pribadi. Di RS nyatanya sibuk bukan karena apa-apa, tetapi 'bermain' dengan gadget. Kalau tidak ngetik ya.... telepon. Hanya itu.
Kalau difikir-fikir orang bisa heran juga. Di kamar sendiri, tapi rasanya kayak permen Nano-Nano. Ramai banget. Gantian HP ini berdering. Kadang teman-teman kantor video conference. Gantian ngomong, gentian tawa, senyum, ada pula yang menangis sambil mendoakan agar saya cepat sembuh.
Thank God, dari semula yakin bahwa saya akan sembuh, jadi kenyataan. Saya banyak didukung oleh doa keluarga, teman-teman profesi, kolega di kantor serta masayarakat yang tidak henti-hentinya menyapa saya lewat media elektronika ini. Hasilnya, saya dinyatakan negative.
Yang saya ingin share kepada teman-teman selama dirawat di rumah sakit adalah, pengobatan penderita Corona itu sebenarnya simple, sangat sederhana. Yang penting jaga kondisi. Pengobatan hanya diberikan berdasarkan gejala. Seperti obat-obatan penurun panas dan vitamin. Jaga kondisi agar tidak makin parah. Peran mental psikologis juga sangat penting. Karena ini akan berpengaruh terhadap imunitas kita.
Ada lagi yang juga tidak kalah pentingnya adalah dukungan moral keluarga, teman-teman dan masyarakat. Secara langsung atau tidak, mereka ini berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Itulah yang saya rasakan.
Dua hari sesudah tinggal di RS, sepertinya saya cepat beradaptasi dengan linkungan RS serta bisa menerima kenyataan. Apakah karena saya yang berlatar-belakang profesi sebagai perawat? May be yes, but I am not sure. Yang pasti, kondisi mental yang stabil bagi saya sangat mendukung kondisi fisik yang membuat saya merasa prima.