Saat kuliah, jumlah teman-teman seangkatan yang suka menulis sangat minim. Mungkin kurang dari 5%. Padahal, kami pintar-pintar kalau untuk urusan baca tulis. Hampir setiap mata kuliah ada penugasan menulis.
Dalam mata kuliah ilmu keperawatan misalnya, bisa dipastikan setiap dosen memberikan penugasan 'academic writing skills'. Anehnya, sesudah lulus, jumlah teman-teman yang menerapkan apa yag dipelajari di kampus dalam bentuk tulisan, almost zero percent.
Keterampilan menulis itu tidak ubahnya seperti keterampilan misterius. Keterampilan yang menjadikan orang bertanda-tanya, sebenarnya bisa tidak sih dengan pintar nulis itu akan memberikan 'masa depan'? Menjawabnya tidak gampang.
Sekalipun demikian, kita tidak menolak, bahwa kemampuan menulis banyak dibutuhkan di mana-mana. khususnya di kalangan akademisi. Mahasiswa saja sebagai contoh, dituntut memiliki kemampuan nulis sejak dari awal.
Bayangkan, jumlah kampus di Indonesia mencapai angka 2500 pada tahun 2018 lalu (Dirjen Kemenristekdikti). Sementara unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.504 unit.
Jumlah mahasiswanya mencapai 7.5 juta orang. walaupun terhitung kecil untuk ukuran populasi usia, dalam hitungan bisnis, itu mestinya 'menguntungkan' bagi yang jeli melihatnya.
Dalam hitungan bisnis, bentuk penugasan yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswa ini sebenarnya sangat 'menjanjikan'. Ironisnya, di Indonesia, menulis rata-rata belum begitu disebut sebagai passion mahasiswa.
Ada beberapa penyebab mengapa mahasiswa yang pintar dan bisa nulis namun malas menulis.
Pertama, saat sekolah kita hanya diajar bisa menulis tapi tidak diajar menyintai menulis. Saat masuk pertama kali kampus misalnya, mungkin saja ada kampus yang mengajarkan 'academic writing skills' di awal-awal mengikuti perkuliahan. Namun rata-rata kampus menganggap mahasiswa mereka sudah 'pintar' nulis.
Nyatanya tidak demikian. Keterampilan ini sebenarnya keterampilan dasar yang butuh penajaman. Akibatnya, mahasiswa banyak yang pintar menulis sebatas pada menyelesaikan untuk tugas dan mendapatkan nilai. Mahasiswa tidak pernah menyintai seni menulis.
Kedua, menulis itu hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Bukan bagian dari tujuan itu sendiri. Akibatnya, banyak mahasiswa yang memang menyelesaikan tugas-tugas dosen, baik berupa article, studi kasus, skripsi hingga disertasi.