Memasuki sebuah Mall terkenal di kota Malang, sekitar 90% nama-nama outlet/toko-toko yang ada, semua menggunakan Bahasa Inggris. Orang tidak mengenal artinya, tak masalah. Bisa dimengerti, karena 'mall' itu sendiri berasal dari Bahasa Inggris.
Bahasa Inggris, Nampak lebih keren. Sebelum masuk Mall pun, kita sudah disuguhi rentetan iklan yang rata-rata berbahasa Inggris. Ironisnya, kalau kita ngomong Bahasa Inggris, dikira 'sok' keinggrisan.
Lima bulan lalu, atau sekitar 3 bulan sebelum 'berhentinya' aktivitas sekolah karena Corona, di desa kami dibuka kursus Bahasa Inggris 'Gratis'. Hanya untuk 10 anak-anak usia SMP dan SMA. Kursus ini diberikan sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat yang kurang mampu namun minatnya tinggi untuk belajar Bahasa Inggris. Hasilnya? Hanya 8 anak yag daftar.
Dari dua scenario di atas, terdapat kontradiksi. Di satu sisi, masyarakat kita menganggap bahwa dengan mengunakan Bahasa Inggris, kehidupan dan gaya hidup terlihat lebih 'keren'.
Di sisi lain, antusias untuk mempelajarinya tidak begitu menggembirakan. Meskipun tidak bayar, minim peminat. Artinya, motivasi belajar Bahasa Inggris belum sampai pada tingkat kebutuhan. Bahasa Inggris belum kita jadikan sebagai suatu kebutuhan yang membuat kualitas hidup menjadi lebih baik, meskipun kenyataan membuktikan bahwa Bahasa Inggris dibutuhkan di hampir semua lini kehidupan.
Apa yang tidak mendapat sentuhan Bahasa Inggris dalam kehidupan ini? Ekonomi, politik, sosial, pertahanan, keamanan, kesehatan, kimia, fisika, biologi, geografi, matematika, fisika, computer, teknik, pertanian, peternakan, kehutanan, kelautan, penerbangan, geologi hingga elektronik. Semuanya tidak bisa lepas dari peran Bahasa Inggris.
Bahkan belajar agama pun kalau berangkat Umrah atau Haji, kita butuh Bahasa Inggris. Minimal saat di kantor imigrasi dan dalam pesawat dan komunikasi antara bangsa di Makkah. Bukan Bahasa Arab.
Semua orang tidak pernah menyangsikan betapa penting dan bermanfaat penguasaan Bahasa Inggris, di sekolah, bisnis, pekerjaan, masyarakat hingga pergaulan internasional.
Ironis memang. Waktu kami sekolah di bangku SMP, yang menyukai Bahasa Inggris hanya sekitar 10%. Selebihnya, yang penting dapat nilai baik atau minimal lulus. Jarang sekali yang serius mempelajarinya.
Faktor pengajar sangat penting. Pengajar yang kurang menarik dalam membawakannya, tidak bakal mendapat simpati dari muridnya. Teman-teman rata-rata belajar hanya karena takut nilainya jatuh.
Bahasa Inggris hanya dipelajari sebatas sebagai ilmu pengetahuan kemudian mendapatkan nilai, titik. Bahasa Inggris tidak dipelajari sebagai bagian dari keterampilan yang harus dikuasai seperti halnya saat belajar keterampilan perangkat 'keras' lainnya. Misalnya keterampilan elektronik, pertukangan, bangunan dan lainnya.