Berita sedih hari ini adalah, satu lagi seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta terkenal di Surabaya, hamil empat bulan, positif Covid-19, berpulang ke Rahmatullah.
Sesudah berjuang mempertahankan hidup dalam kondisi kritis, menggunakan respirator, serta mendapatkan perawata intensif. Ini merupakan salah satu risiko menjalani profesi keperawatan di tengah wabah Corona saat ini.
Kita mestiya harus bangga memiliki perawat-perawat heroik, yang rela mengorbankan keluarga dan nyawa, demi nilai kemanusiaan. Walaupun ada juga perawat yang masih harus mikir-mikir kerja terkait risiko. Ada pula yang terpaksa kerja mengambil peluang, karena tidak memang punya pilihan.
Selama tiga bulan terakhir di Indonesia,permintaan terhadap tenaga perawat meningkat. Mulai dari Pemerintah Pusat, Daerah, BUMN, perusahaan hingga klinik-klinik dan rumah sakit swasta. Mereka banyak membutuhkan tenaga perawat untuk mengukur tanda-tanda vital.Orang awam bilang kerjaan perawat ‘gitu-gitu’ aja.
Jadi untuk apa harus bayar mahal? Di Jakarta dan beberapa kota besar lain misalnya, membutuhkan perawat khusus guna menangani Covid-19 ini.
Mereka menawarkan paket menarik dengan gaji besar hampir dua kali lipat UMR. Melihat peluang ini, Dayat, seorang perawat asal NTT ‘nekad’, berangkat ke Jakarta.
Kini Dayat sudah memasuki bulan ke dua. Berpredikat sebagai Perawat khusus untuk penanganan Covid-19. Mendapatkan kontrak khusus. Umumnya hanya setahun maksimal.
Julianto dari Palu juga demikian. Ke Jakarta untuk tujuan yang sama. Kini mereka sehari-hari berpakaian khusus, mirip ‘Astronot’, berat dan panas.
Wajar jika diberikan paket menarik, karena risikonya besar. Taruhannya nyawa. Karena itu, peminatnya juga tidak begitu ‘membludak’. Selain honor besar, ada yang dijanjikan mendapatkan pondokan gratis di hotel atau apartemen, makan dan transport juga gratis. Namun beban kerjanya tidak membuat sembarang orang mampu.
Eko, seorang perawat asal Tegal, Jawa Tengah yang saat ini direkrut oleh sebuah perusahaan BUMN di Jakarta mengatakan, sangat berat beban kerjanya.
Dengan tawaran honor Rp 7 juta per bulan, kontrak kerja 6 bulan, Eko kerja selama 8 jam/hari. Tapi, kenyataannya lebih dari 8 jam. Dia dan kawan-kawannya harus berangkat 1 jam sebelumnya, karena jaraknya cukup jauh dari apartemen ke lokasi kerja. Sesudah selesai kerja 8 jam, masih harus nunggu operan, minimal 1 jam.