BPJS baru saja diumumkan secara resmi akan naik awal Juli nanti. Tidak ada yang terkejut. Yang kaget paling-paling pihak 'Oposisi'. Pokokya, kalau soal harga, lumrah, sudah biasa dan tidak pernah turun. Yang bisa turun itu jumlah tunjangan atau berat badan.
Makanya, jika ada kabar BPJS naik, orang menganggap biasa. Harga sembako menjelang lebaran naik, OK. Tarif listrik naik, OK. BBM naik OK. Pajak naik OK. Denda tilang naik OK. Biaya kuliah naik, juga OK. Tidak ada yang protes.
Kalau protes juga untuk apa. Buang-buang energy saja. Tidak ada gunanya. Toh gak bakalan turun juga. Makanya, 'manut' saja, pilih aman. Apalagi kalau mau demo segala. Ya nggak lah. Ntar kayak peristiwa Trisakti. Tinggal nama, badan hilang. Mending nulis di Kompasiana saja sambil menunggu saat Berbuka Puasa. Enak kan?
Memang sikap kita di negeri ini harus seperti ini bila tidak mau susah. Apalagi di tengah-tengah Pagebluk Covid-19. Banyak orang berduka lara. Untung kalau jadi PNS, yang setiap bulan ada yang diharapkan. Tidak pergi keluar rumah pun, masih ada pemasukan.
Lha sekarang kalau setiap hari kebutuhan makan, minum, beli sembako, bayar sekolah, pajak motor dan tetek bengeknya hanya berharap pada hasil keringat sehari-hari, sementara keluar rumah mau kerja dilarang, terus yang dipakai untuk membayar itu semua apa, hayo?
Di pinggir jalan dekat rumah pondokan kami, biasanya ramai orang beli Nasi Goreng, aneka Gorengan, Minuman Kelapa Muda serta Bakso. Sejak ada Corona ini, nyaris sepi.
Kami jadi mikir, para penjual ini dapat pemasukan dari mana ya? Belum lagi Sopir Angkot, yang biasanya berharap setiap pagi hingga petang terima pemasukan dari karyawan Karoseri yang ribuan jumlahnya, hingga anak-anak sekolah.
Lha sekarang ini, anak-anak sekolah libur semua, karyawan Karoseri dirumahkan, pabrik-pabrik lainnya sudah terancam tutup karena permintaan turun drastis. Lantas, sopir ini dapat duit dari mana? Kalau dipikir, sebenarnya bukan urusan saya. Tapi jika tidak dipikir, betapa egoisnya saya sebagai manusia!
Kemarin saya lihat berita ada banjir bandang melanda kota Takengon, Aceh Tengah. Sekitar 5 jam dari rumah kami di Sigli. Musibah yang melanda tiga desa di dua kecamatan di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah ini membuat ratusan warga panik.
Puluhan rumah terendam, puluhan yang dipenuhi lumpur. Ruas jalan nasional Bireuen-Takengon sepanjang ratusan meter dipenuhi material, sehingga sulit dilalui kendaraan. Semua ini tentu menambah penderitaan rakyat.
Sebagai orang kecil, kami tidak mampu berbuat apa-apa dalam menghadapi itu semua, kecuali mengamini apa yang diajarkan oleh Ustadz-udtadz di setiap pagi sesudah Saat Subuh: sabar, tawakkal dan berdoa demi kebaikan negeri.
Lha mau bagaimana lagi? Untuk bekerja di luar rumah mau cari sambilan, dilarang. Di mana-mana medsos menyarakan pembelian online. Duitnya dari mana? Kalau mau kerja juga disarankan online. Memangnya kami ini orang IT semua yang bisa dengan mudahnya jualan Online?
Pendeknya, selama Corona, jika derita ini dihitung, kalkulator tidak bakalan muat angkanya. Kita sudah terbiasa diajar menderita dan mengedepankan susahnya hidup daripada menghitung nikmat kehidupan. Oleh sebab itu jangan heran, di medsos lebih banyak yang curhat daripada yang berbagi kisah suksesnya. Kecuali motivator.