"Sedari kecil, saya tidak pernah dimotivasi oleh orangtua untuk jadi juara. Mungkin karena beliau berdua sadar betul, kami keluarga tidak mampu. Kami tidak memiliki sarana dan prasarana untuk jadi juara. Apalagi dapat piala. Terkadang saya iri dengan orang-orang yang memiliki piala berderet di ruang tamunya, sebagai pertanda prestasi di berbagai bidang kejuaraan. Sungguh, saya tidak pernah mimpi untuk jadi juara dan mendapat piala.
Bagaimana sih rasanya jadi juara?
Suatu hari, di tempat kerja, datang seorang membawa surat lamaran. Sesudah saya lihat Curriculum Vitae (CV) nya, beliau seorang guru. Sebetulnya isinya tidak ada yang istimewa. Profile nya biasa-biasa saja sebagai seorang sarjana pendidikan yang berpengalaman. Yang membuat saya kemudian berefleksi diri adalah beliau lampirkan sejumlah artikel hasil karyanya. Ternyata, sambil bekerja sebagai seorang guru, beliau rajin menulis yang diterbitkan di beberapa media masa. "Betapa senangnya menjadi seorang penulis dan bisa dikenal karena karyanya..." Fikiran saya melambung tinggi, melayang. Membayangkan nikmatnya jadi seorang penulis.
Berangkat dari sana kemudian saya mulai menulis. Tidak ada yang mengajari. Tidak ada yang membimbing. Tanpa kursus kilat yang butuh dana. Sepertinya metode otodidak menulis saya 'liar'. Kami sekeluarga tidak ada yang punya hobi menulis. Ayah saya seorang pensiunan pegawai sipil dan Ibu tidak pernah mengenyam sekolah, alias buta huruf. Kakak-kakak saya tidak ada yang, jangankan sarjana, yang SMA saja hanya satu orang dari 7 kakak yang ada. Saya fikir menulis itu murah, tidak butuh modal. Waktu itu belum ada komputer. Saya gunakan mesin ketik kantor.
Di setiap waktu luang, biasanya saat istirahat, saya pinjam mesin kantor barang setengah jam untuk menulis. Sesudah menulis, saya minta teman kantor untuk koreksi tulisan saya. Saya tidak memiliki latar belakang pendidikan sastra yang pandai bermain dengan kata-kata. Saya hanya gunakan perbendaaraan kata biasa dan sangat sederhana, yang mudah dicerna dan dipahami. Saya menuliskan apa yang ada dalam fikiran. Saya tidak menulis apa yang saya fikirkan. Begitulah kiat saya waktu itu.
Topik pertama yang saya tulis adalah kisah perjalanan. Menurut saya, kisah seperti ini sangat mudah memenulisnya. Tidak membutuhkan macam-macam teori. Saya lanjutkan dengan tulisan yang berkisar tentang profesi saya, yakni keperawatan. Yang ini juga sangat gampang, karena saya menguasai. Jadi tahapan kedua 'teori' yang saya tulis adalah berpedoman kepada hal-hal yang: saya suka, saya punya dan saya bisa. Saya tidak menulis sesuatu yang saya tidak punya, saya tidak suka dan saya tidak bisa.
Alhasil, dari dua teori tersebut sungguh hasilnya di luar dugaan. Rasanya kejatuhan bintang. Karya saya pertama dimuat oleh sebuah Majalah Kesehatan Populer berjudul Majalah Puskdiknakes (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan). Saya dapat honor yang lumayan besar menurut saya saat itu. Tulisan saya kedua juga dimuat oleh Majalah Kampus (waktu itu saya kuliah sambil bekerja). Eforia....saya senang sekali. Saya tunjukkan hasi karya 'besar' ini ke teman-teman kerja, teman sekolah dan keluarga.
Demikian seterusnya, saya semakin sering menulis tanpa pembimbing, tanpa guru. Saya tidak tahu bagaimana. Yang pasti saya hanya ingin menujukkan kemandirian, bahwa saya bisa kerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain. Kelihatannya egois. Tapi sebenarnya tidak. Prestasi lewat tulisan, tidak perlu membuat saya jadi menjadi juara. Saya hanya ingin berlomba degan diri sendiri untuk menjadi juara. Saya kirimkan lebih banyak lagi artikel ke sejumlah majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris. Dari perolehan honor tersebut saya akhirnya bisa membeli mesin ketik dan kamera.
Hobi menulis saya berkembang. Saya memang tidak terkenal, karena bukan keteranan yang saya cari. Dari banyak menulis di beberapa media ini, saya bisa bantu Ibu dan adik-adik. Hampir setiap bulan ada saja honor menulis yang dikirim lewat wesel. Saya atas namakan Ibu, karena saya pindah kerja di sebuah pelosok desa. Dari kota Malang, saya pindah kerja ke Trenggalek Selatan. Sebuah desa terpecil yang banyak memberi saya inspirasi. Di desa yang tanpa listrik ini saya bawa serta mesin ketik dan kamera sederhana. Sungguh, saya sangat menikmatinya.
Saya tahu banyak bagaimana kelemahan menulis tanpa bimbingan. Tulisan saya jauh dari apa yang orang sebut sebagai karya professional. Bodohnya saya, tidak menekuni serius kegiatan menulis ini secara profesional sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Tetapi saya tidak pernah berhenti menulis.
Bahkan saat saya bekerja di luar negeri, makin banyak yang bisa saya tulis. Ratusan artikel saya buat. Saya tidak pernah mikir untuk menjadi juara, karena saya tidak pernah ikut serta dalam lomba menulis. Bagi saya, menulis adalah bagian dari gaya hidup saya. Saya menulis bukan untuk mencari uang atau mencari predikat juara atau memburu ketenaran seperti artis.