Lihat ke Halaman Asli

Rida Fitria

An author of several books; Sebongkah Tanah Retak, Bunga dan Duri, Paradesha, Jharan Kencak, dll.

Lirik-lirik Yang Indah, dan Pertemuan-pertemuan Yang Menyenangkan

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sesi saya, Lyric Spirituality, yang bertempat di Left Bank, digelar tepat pada pukul 9.30 wita. Selisih lima belas menit dengan sesi A Rare And Exquisite Story yang di buku panduan main program tertulis: so said Eat Pray Love author Elizabeth Gilbert about Janice Y K Lee's book, The Piano Teacher. Love, lies, politics and war in a Hongkong of the 1940's and 50's. Karena tabrakan dengan sesi saya sendiri, tentunya saya tak mungkin hadir dalam panel diskusi yang menghadirkan Janice Y K dan Stephen McCarty ini. Tiga puluh menit sebelum acara dimulai, kami janjian ketemu di food court di pelataran Left bank dengan penulis lain; Wahyu Arya dari Serang dan Budy Utamy dari Pekanbaru. Mas Panji, penerjemah kami datang setelah itu, lalu menyusul Mbak Dorothea Rosa Herliany sebagai chair panel diskusi kami. Kami membicarakan hal-hal terkait karya kami yang membuat kami terpilih dalam UWRF 2011. Dalam emailnya jauh sebelum pertemuan pagi itu, Mbak Rosa menulis: Pengaruh agama dan spiritualitas dalam karya penulis ( baca: Rida, Wahyu, dan Budy Utamy ). Dalam obrolan kemudian, berkembang kesepakatan lain, bahwa kami akan membacakan nukilan karya kami sekira lima menitan. [caption id="attachment_136743" align="alignnone" width="300" caption="sebelum sesi digelar, ngobrol dulu di pelataran left bank yang sudah disulap menjadi food court. dari kiri: saya, Wahyu Arya, Budy Utamy (jilbab merah, sedang terima telepon), Mas Panji, dan Arafat Nur penulis novel Lampuki."][/caption] [caption id="attachment_136744" align="alignnone" width="300" caption="ketika sesi lyric spirituality berlangsung.."][/caption] Kami meninggalkan left bank pada pukul sebelasan. Sempat mengobrol dengan Irianto Ibrahim, Penyair kelahiran Buton yang bingung mencari masjid karena hari itu adalah Jum'at. "sudah, musafir dapat keringanan toh?" dia tersenyum saja, dengan ekspresi 'tidak afdol muslim tidak jum'atan'. Dalam perjalanan menuju Indus, tempat Mbak Sanie Kuncoro berbagi pengalaman sebagai penulis Ma Yan, saya merasa salut dengan Irianto Ibrahim yang salih. Tepat ketika duduk di salah satu kursi  kosong di Indus restaurant yang telah disulap menjadi ruang diskusi selama perhelatan Ubud Writers and Readers Festival, tiba giliran Sanie Kuncoro berbicara. Pas, pikir saya. Semeja dengannya ada Martine Murray, O Thiam Chin, dan Utaya Sankar. Banyak dari audien yang ingin bertanya, tapi waktunya habis. Setiap sesi sekitar 1 jam lima belas menit. Sesi berikutnya sudah menanti. Para panelis buru-buru meninggalkan meja. [caption id="attachment_136747" align="alignnone" width="300" caption="karena buru-buru hanya sempat mengambil gambarnya Mbak Sanie sekali, diapit Nessa Kartika dan Sharon Bakar."][/caption] [caption id="attachment_136749" align="alignnone" width="300" caption="ketemu A.Fuady penulis Negeri 5 Menara di sesinya Mbak Sanie."][/caption] Sudah waktunya makan siang, perut dah gamelanan sejak tadi karena cuma sempat sarapan sereal tadi pagi. Janjian dijemput suami di depan kafenya Indus yang kini ditempati Periplus (book shop ). Sambil menunggu lihat-lihat buku, dan mengobrol dengan Uthaya Sankar dari Malaysia. Dikasih buku Rudra Avatara plus tanda tangan...*melayang-layang* dimana lagi dapat beginian, ketemu banyak penulis dari seluruh dunia dan dapat buku gratisan pula:D [caption id="attachment_136750" align="alignnone" width="300" caption="bersama Uthaya Sankar, penulis kumpulan cerpen bahasa Malaysia "][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline