"wah, beratku naik neh, gak boleh makan nasi lagi."
"harus diet, gak boleh makan nasi kalau mau kencing manisnya cepat sembuh."
Mungkin ini hanya pengalaman sedikit orang, namun dimana-mana sekarang ada kecenderungan orang untuk meninggalkan makan nasi. Supaya kurus, sehat, bla-bla-bla. Saya jadi bertanya-tanya sendiri, bukankah leluhur kita sudah makan nasi sejak berabad-abad lalu? Dan sebelum makanan instan dan cepat saji memborbardir kehidupan kita dari segala arah, kita semua tahu riwayat kesehatan para nenek moyang kita yang bugar-bugar dan panjang-panjang umurnya. Dan mereka tetap makan nasi, jagung, singkong, ketela, santan, dan apa saja yang hari ini dinilai dengan kacamata kuda perspektif ala barat sebagai makanan yang 'tidak sehat'.
Jika mau jujur dengan sejarah, bukankah tradisi Timur jauh lebih tua dari peradaban barat? Dan pencapaian mereka ( Timur) tentu saja tidak perlu diragukan lagi entah dalam aspek kenegaraan, pendidikan, obat-obatan, hingga olah kanuragan yang di zaman modern ini menjadi bahan tertawaan manakala kita menceritakan keberadaan orang-orang yang memiliki kesaktian dan kemampuan-kemampuan lainnya karena tetap berpegang pada kearifan lokal.
Kembali pada nasi dan kawan-kawannya, terus terang saya menjadi sedih ketika media massa maupun elektronik turut menjadi corong 'pesan' kepentingan-kepentingan korporasi yang menjual dagangan makanan tidak berbahan beras dan produk-produk dalam negeri lainnya. Propaganda yang tidak fair dan membodohi, sehingga pada akhirnya membuat kita tidak bangga lagi pada kuliner warisan leluhur. Lalu kita menjadi anti nasi, malu makan singkong rebus, dan berpindah pada makanan asing yang tidak semuanya buruk namun juga tidak semuanya sehat.
Pada akhirnya, nasi atau makanan apa saja, bisa membuat kita sehat atau tidak tergantung pada proses dan porsi sebelum makanan itu masuk ke dalam mulut. Nasi menjadi tidak sehat ketika ia masih berupa beras dan karena alasan pasar kemudian diberi tambahan zat kimia yang memutihkan, misalnya. Namun jika prosesnya wajar-wajar saja, sebagaimana nenek moyang kita telah melakukannya selama berabad-abad, nasi aman dan sehat untuk dikonsumsi.
Makan nasi seperti karbohidrat lainnya, tentunya dengan porsi sesuai kebutuhan. Tukang bangunan dan orang yang bekerja di belakang meja, tentu beda porsinya. Tukang bangunan makan nasi dua piring sangat jarang bikin mereka kelebihan berat, karena tenaga yang dikeluarkan lebih banyak ( lebih banyak juga keringatnya ) sehingga omentum dan lemak-lemak di bagian tubuh yang biasa 'tumbuh liar' akan terbakar dengan sendirinya. Sementara yang suntuk bekerja dalam posisi statis, jika ingin tetap sehat sekaligus mempertahankan berat yang ideal tentunya tak masuk akal jika ia mengonsumsi nasi dan sejenisnyanya dengan porsi yang sama. Jika memaksa ( gak ada yang larang kok:) tunggu saja efeknya, pasti sukses membengkakkan diri. Intinya, perhatikan bagaimana makanan itu dibuat ( proses ) dan porsinya. Saya jamin pasti sehat deh ( asal jangan lupa sayur buah dkknya ). Wah udah kayak konsultan gizi aja yak...hehehe. Ini saking geregetannya sodara...masak ( sejumlah ) bahan dasar kuliner kita dihina-hina kita diam saja.
Btw, kasus nasi bukan satu-satunya 'warisan leluhur' kita yang menjadi korban diskriminasi lho ( wah judul bagus neh: Nasi dan Diskriminasi, sama-sama ada nasinya:D wah...sebelum semakin melebar kemana-mana dan saya menjadi lupa dengan apa yang ingin ditulis pagi ini. Saya teringat Jamu dan pengobatan ala leluhur seperti pijat, bekam/canduk, kerokan, dll.
Beberapa waktu lalu, saya menjenguk teman lama yang baru melahirkan. Karena kami dekat jadi terbiasa bicara buka-bukaan, termasuk kemarahan ibunya yang menyesali sang puteri yang tidak lagi mau minum jamu. Nah, saya ini sebagai emak-emak tiga bocah, kan udah pengalaman tuh suka dukanya lahiran, dan akrab dengan jejamuan tradisional madura ( nenek moyang kita dari sono, ahli banget ngeracik jamu, si*****cul yang tersohor ke seluruh negeri lewat dah ). Ceritalah kita segala macam urusan perempuan, penyakit ini itu, dan kenapa kebanyakan d***r melarang kita minum jamu. Padahal jauh sebelum mereka lahir, ibu-ibu di masa lalu tertolong oleh keberadaan para herbalis yang tak jarang sekaligus yang menolong persalinan itu sendiri.
Dari gambaran teman saya itu, yang dahulu pernah akrab dengan jejamuan, hanya karena informasi yang tak berimbang lalu terpengaruh orang-orang yang mengaku 'modern' dan meninggalkan tradisi pengobatan herbal yang telah digunakan secara turun temurun. Tentunya saya tidak dalam posisi menyalahkan atau membenarkan, hanya saja merasa prihatin kenapa untuk alasan 'korporasi' harus mengorbankan tradisi-tradisi luhur? Tidak bisakah keduanya berjalan secara seiring sehingga masyarakat kita memiliki pilihan-pilihan? Tanpa yang satu membunuh karakter yang lainnya.
Prihatin pagi, di sebuah lereng gunung yang indah.