Lihat ke Halaman Asli

Rida Fitria

An author of several books; Sebongkah Tanah Retak, Bunga dan Duri, Paradesha, Jharan Kencak, dll.

Nenek Mo

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan itu punya nama panjang, tapi kami biasa memanggilnya nenek Mo. Perawakannya mungil, dengan garis-garis keriput di sekitar matanya yang katarak. Ia tidak pernah lebih gemuk sepanjang kami mengenalnya. Namun demikian ia bisa diandalkan dalam pekerjaan-pekerjaan menyediakan sarapan pagi untuk kami, setiap hari. Ketika saya mengunjungi ibu, ia tak tampak di dapur. Mak Sum, seorang tua yang tak pernah akur dengan Nenek Mo - tapi lucunya mereka berdua selalu bisa saling bekerja sama - bekerja sendirian. Kata Ibu, nenek Mo sakit. Ada rasa kehilangan menyelinap di dada saya. Saya terkenang sikapnya yang penuh perhatian, dan suka memasak jenis makanan yang saya suka setiap kali saya pulang ke rumah. Mak Sum juga sama. Kedua lansia itu menempati ruang tersendiri di dalam hati saya. Saya menyayangi mereka. Dan nenek Mo tengah sakit. Saya mengunjunginya. Ia menempati sebuah rumah berlantai tanah bersama salah seorang anak perempuannya yang tengah hamil. Melihat kemunculan saya, nenek Mo memaksa duduk. Saya melarang, memintanya tetap dalam posisi berbaring, tapi ia tak menurut. Lalu ia menceritakan serangan dingin di tubuhnya, yang membuatnya semakin menggigil di malam hari, di rumahnya yang dindingnya tidak rapat dan langit-langit yang tidak dilapisi sehingga ketika kita melihat ke atas akan terlihat bagian-bagian genting yang bocor di bawah tempias cahaya matahari. Yang sebenarnya, di lingkungan Nenek Mo tinggal, rumah yang sejenis atau yang lebih sederhana hingga tak layak huni  telah menjadi pemandangan biasa bagi mereka. Namun tidak bagi saya, dalam hati saya menggugat. Apa yang dilakukan negara selama ini selain melanggengkan pemerintahan yang korup! Sungguh saya tak bisa menerima. Sedihnya, selain melayani mereka dengan pengobatan gratis, saya tak terlalu berguna juga. Sudah saya coba mencari dana dengan memberikan pelatihan pengobatan untuk kelompok-kelompok pengajian di perumahan-perumahan elit, tapi sejauh ini belum ada yang menyambut ide saya. Bahkan sekalipun saya 'merayu' mereka tentang pahala berantai sebuah infaq dan shadaqah karena menguatkan kehidupan ekonomi kalangan dhu'afa. Mereka, yang di rumahnya full ac itu, sama sekali tak tampak tertarik. Sebagian mereka malah sibuk menceritakan penderitaan mereka tentang penyakit ini itu, namun sama sekali tak berniat bagaimana supaya mampu mengobati diri sendiri dan keluarganya melalui thibbun nawawi yang sudah teruji di lapangan. Tapi ya sudahlah, masih banyak jalan menuju Roma. Anggap saja ini ujian kesabaran dan keikhlasan.....semoga suatu hari saya bisa berbuat lebih banyak untuk orang-orang seperti nenek Mo. Amienn yaa rabbal alamienn.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline