Lihat ke Halaman Asli

Pencinta Alam dan Kurenahnya

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Padang-PA.

Pengkaburan terhadap makna dan sikap kepencintaalaman sudah semakin merajalela. Banyak orang yang telah mampu mengakui sebagai seorang pencinta alam, tetapi pada kenyataannya tidak memiliki kesesuai dari akuannya tersebut.

Contoh yang mungkin bisa disebutkan, bahwa aksesoris yang berupa pakaian/style yang amburadul dan serba aneh, menurut mereka itu adalah suatu ke-khasan yang patut diacungkan jempol dan itu mereka sebut dengan Pencinta Alam.

Ironinya lagi, Pencinta Alam yang mungkin bisa disesuaikan dengan visi dan misi Soe Hok Gie, Herman Lantang dkk (Pendiri Mapala Prajnamita Fakultas Sastra UI pada tahun 60'an), ternyata jahu dari apa yang diharapkan. Ungkapan kekecewaan itu berulang kali disampaikan oleh Herman Lantang, saat ditemui dikediamannya di Jagakarsa, Jakarta beberapa waktu yang lalu.

"Kondisi Pencinta Alam saat ini sangat menyedihkan, kurang pas dan ditakutkan lari dari rel yang sesungguhnya dulu menjadi pemahaman yang saya usung dengan kawan - kawan pada 60'an," ulasnya Herman lantang kepada Saya dengan nada cemasnya.

Contoh lainnya, mendaki gunung. Kegiatan ini telah menjadi prosesi dengan kegiatan arogan dan ugal-ugalan, bukan lagi kegiatan yang penuh filsafat dan kebersamaan. Banyak diantara pelaku pendaki Gunung dengan bangga dan gagahnya pergi mendaki Gunung disertai sikap huru hara dan banyak lagi ketidaksesuaiannya seperti tidak memperhatikan kebersihan bivak bekas peristirahatannya. Walau saat ini sudah ada Diksar (Pendidikan Dasar) untuk itu semua di kelompok - kelompok pencinta alam.

Mirisnya lagi, bagi beberapa kelompok dan perorangan yang mengaku pencinta alam, malah tidak tahu dengan filsafat pencinta alam itu sendiri, jangankan untuk memahami kode etik pencinta alam?

Bagaimana Kurenah Pencinta Alam kedepannya? kalau hanya begini - begini saja, seremoni - seremoni, mendaki - mendaki, tapi tidak punya nilai dan makna. (Rico Adi Utama)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline