Lihat ke Halaman Asli

Penculikan Direncanakan Lebih Awal?

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Rico Hermawan

Pagi dini hari, memasuki tanggal 1 bulan Oktober 1965, sekitar 10-15 truk lapis baja dengan mengangkut tentara-tentara siap tempur tampak menyisir jalanan Jakarta memasuki kawasan elit seperti Menteng dan Kebayoran, sebuah kawasan elit di pusat Jakarta. Tujuan mereka satu : menculik atasan mereka dan membawanya ke sebuah tempat rahasia di pinggiran Jakarta. Di pagi harinya  seorang komandan gerakan, yang seorang pemimpin pasukan pengawal Presiden, menyiarkan berita melalui Radio Republik Indonesia (RRI) dan mengatakan sebuah kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September 1965 telah melakukan gerakan pada malam dini hari yang naas tersebut.

Peristiwa diatas pun menjadi titik puncak dari segala rangkaian konspirasi yang akhirnya akan menjatuhkan Soekarno di kemudian hari. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan istilah G30S –oleh Soekarno disebut dengan Gestok (Gerakan 1 Oktober)- tidak hanya menimbulkan luka bagi keluarga korban yang ditinggalkan oleh para jenderal yang terbunuh, namun jutaan orang Indonesia yang dituding sebagai komunis pun harus merasakan akibatnya setelah kebengisan rakyat berkobar untuk membantai kaum komunis setelah situasi politik dalam negeri yang tidak berimbang pasca 1 Oktober. Dan di kemudian hari, pemerintahnya merenggut sebagian hak asasi mereka untuk hidup di negaranya sendiri.

Menelusuri kembali sejarah peristiwa penculikan beberapa Jenderal TNI AD pada malam 1 Oktober 1965 bisa menjadi sebuah penelusuran sejarah yang menarik. Mengapa PKI harus melakukan coup (kudeta) merebut kekuasaan, padahal saat itu mereka sendiri sebenarnya bisa dibilang telah menguasai panggung politik nasional? Hanya karena ketiadaan pemilihan umum (pemilu) saja di masa Demokrasi Terpimpin kala itu yang membuat “label” PKI sebagai partai dengan basis dukungan paling besar menjadi kurang lengkap.

Kondisi politik Indonesia kala itu memang tidak bisa dilepaskan dari konteks Perang Dingin. Presiden Soekarno sebagai pemimpin dunia ketiga yang paling vokal, dengan mainstream politiknya yang terlihat lebih condong ke kiri, ikut melancarkan manuver dengan menentang apa yang ia sebut dengan Neo-Kolonialisme (Nekolim). Barat pun tidak tinggal diam. Segala bentuk konfrontrasi dan konspirasi dilancarkan. Peranan intelejen dalam situasi seperti ini menjadi begitu besar. CIA, sebagai motor terdepan Amerika Serikat dalam memata-matai negara lain di belahan dunia, telah melakukan beragam cara untuk menanggalkan kekuasaan pemimpin-pemimpin negara yang tidak sepaham dengan AS. Permainan konspirasi tingkat tinggi dengan melibatkan agen-agen ganda di negara sasaran menjadi hal lazim kala itu, bahkan hingga kini.

CIA sebagai salah satu badan intelejen paling berpengaruh di dunia memiliki beberapa tugas, diantaranya menganalisis dan mengevaluasi data-data intelejen mengenai kegiatan atau kondisi negara yang menjadi target mata-mata. Dalam analisisnya tentang peristiwa G30S 1965, CIA pernah membuat sebuah analisis intelejen mengenai peristiwa tersebut. Hasil analisis mereka rilis pada Desember 1968. Pada awalnya dokumen tersebut bersifat classified (top secret/rahasia), setelah hampir 40 tahun, hasil analisis mereka itu dibuka ke publik pada bulan Mei 2007. Kertas kerja setebal 316 halaman tersebut diberi judul Indonesia-1965 : The Coup that Backfired. Hal menarik yang ingin dibahas oleh penulis dari kertas kerja tersebut adalah laporan intelejen yang diterima CIA dari intelijen AD yang memuat waktu rencana penculikan para jenderal.

Pada 14 September 1965, Jenderal S. Parman yang kala itu menjabat Asisten I Bidang Intelijen Angkatan Darat mendapatkan laporan tentang situasi keamanan saat itu. Laporan tersebut meringkas semua informasi yang diketahui tentang kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tertulis dalam laporan tersebut tentang adanya sebuah rencana pembunuhan terhadap beberapa pimpinan atas (top leaderships) Angkatan Darat. Disebutkan pula daftar nama-nama jenderal yang menjadi target pembunuhan mereka. Kesimpulan Parman adalah bahwa “sesuatu yang tidak beres akan terjadi”.

Melihat kemungkinan akan terjadi masalah, Parman kemudian melaporkannya kepada atasannya, Jenderal Ahmad Yani (Menpangad). Ahmad Yani pun tidak berpikir panjang dan segera melaporkan isu tersebut kepada Presiden Soekarno. Dalam daftar tersebut para jenderal yang menjadi target pembunuhan adalah Jenderal A.H. Nasution, Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. M.T Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen. D. I. Pandjaitan, Brigjen. Sutoyo Siswomihardjo -ke tujuh jenderal tersebut yang kemudian menjadi target pada 30 September- dan tiga lainnya adalah Mayjen Sukendro, Mayjen Soeharto, Mayjen Moersjid.

Uniknya, dalam laporan, waktu pelaksanaan penyerangan dilakukan pada tanggal 18 September 1965. Pada malam tanggal itu pula, Angkatan Darat menurunkan pasukan khusus untuk mengamankan ibu kota. Namun serangan yang ditunggu tak kunjung hadir. Hingga kemudian Ahmad Yani tak menanggapi dengan serius laporan tersebut. Di kemudian hari tak ada lagi pengamanan khusus.

Pada minggu-minggu akhir di bulan September, seorang mantan Atase Militer TNI di Peking, China, Brigjen. Sudono sempat mengatakan kepada Mayjen. M.T Harjono bahwa akan ada suatu kudeta yang dilancarkann untuk menculik beberapa jenderal Angkatan Darat. Sudono mengakui telah mempelajari laporan yang menyebutkan rencana tersebut. Kemungkinan laporan tersebut sama dengan yang diterima oleh S. Parman, hanya Sudono mencoba untuk menanggapi lebih serius apa yang kemungkinan akan terjadi. Pada siang tanggal 30 September, meskipun kurang begitu menganggap penting laporan Sudono, M.T. Harjono mengumpulkan para stafnya dan melakukan rapat membahas laporan Sudono itu. Sudono sendiri hadir dalam meeting tersebut. Namun laporannya tersebut hanya menjadi bahan tertawaan dari para staff yang hadir.

Prediksi Sudono pada akhirnya menjadi kenyataan dalam hitungan jam setelah meeting tersebut. Sudono mengatakan bahwa ‘Kudeta akan terjadi beberapa hari lagi pada suatu malam”. Angkatan Darat terlihat tidak siap dengan serangan tersebut Jelas peristiwa ini jarang terjadi dalam sejarah peperangan dunia dimana enam jenderal senior tewas dalam satu malam.

Penulis tinggal di @HermawanRico

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline