[caption caption="Ketua Komisi D DPRD DKI, M. Sanusi (Dok:Tribunnews.com)"][/caption]Selama ini Basuki Thajaya Purnama atau Ahok terus dihalau dari berbagai penjuru agar ia tak kembali meleggang ke Balai Kota. Halau-menghalau makin tampak, makin nyata seiring makin dekatnya pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta pada Februari 2017 mendatang. Lawan politik Ahok pun satu-persatu bermunculan di depan publik. Mereka nampak menunjukkan kekuatan politiknya yang dianggap sebagaian orang adalah sebagai sikap ketidaksukaan dan ketidaksenangan dengan Ahok. Semua punya mata dan semua bisa melihat bahwa sejak Jakarta dipimpin Ahok, perubahan sudah terasa dimana-mana (Jakarta). Masyarakat DKI pun dituntun oleh para lawan politik Ahok untuk melemparkan isu-isu yang berbau SARA.
Yusril Ihza Mahendra yang disebut-sebut sebagai calon kuda hitam karena dianggap mampu mengungguli Ahok ternyata pun tidak berdaya menghadapi kondisi yang sebenarnya. Yusril sungguh tidak berdaya menghadapi popularitas Ahok yang makin hari makin moncer akibat kinerjanya yang sangat memuaskan. Ketidakberdayaan Yusril ini bisa terlihat dari sikap rasis yang dipertontonkan oleh Yusron Ihza Mahendra yang melalui twitternya menyinggung etnis tertentu. Sungguh apa yang telah dilakukan oleh Yusron Ihza Mahendra ini adalah wujud nyata bahwa Ahok hingga kini upayanya untuk kembali melanjutkan pembenahan di Jakarta pun terus dihalau dan dihadang. Dihalau dari berbagai penjuru.
Yusron yang kini menjabat sebagai Dubes Indonesia untuk Jepang pun dari Negeri Sakura pun tanpa ragu-ragu dan tanpa takut-takut menghalau Ahok dengan melemparkan isu yang sangat sensitif tersebut. Tak hanya soal isu SARA yang dilemparkan Yusron yang jauh-jauh dari Negeri Sakura, sebelumnya juga Ahok kerap dihalau dan dihadang serta dikaitkan-kaitkan dengan Sumber Waras. Tudingan ini pertama kali muncul dengan sangat tendesius dimana lembaga negara sekelas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menuding bahwa keputusan Ahok yang membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras adalah kemahalan dari penawar yang pertama, tak hanya soal kemahalan tetapi juga harga nilai tanah pun dipermasalahkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dan ternyata Kepala BPK DKI yang sebelumnya memutuskan melakukan audit terhadap pembelian Sumber Waras pun memiliki conflict of interest.
Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menuding Ahok bersalah karena telah membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras karena harga pembeliannya lebih mahal ketimbang dari harga penawaran pertama dari PT. Ciputra Karya Utama seharga Rp. 564 Miliar pada 2013 lalu adalah sangat tendesius. Menjadi tendesius karena tudingan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Ahok ini hanya berdasarkan asumsi-asumsi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tanpa melihat dulu regulasi yang memperbolehkan Ahok menunjuk langsung pembelian lahan Sumber Waras tanpa harus dilakukan kajian terlebih dahulu.
Sebagaimana menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akibat dari main tunjuk itu menimbulkan kerugian negara hingga 191 Miliar. Keputusan Ahok yang menunjuk langsung pembelian terhadap lahan Sumber Waras tida asal-asalan sebagaimana yang seperti yang ditudingkan BPK kepada Ahok, tetapi sudah sesuai hukum yakni dengan Peraturan Presiden No 40/2014 tentang Pengadaan Tanah yang mana dinyatakan bahwa pengadaan tanah di bawah 5 hektare bisa dilakukan secara langsung dan tidak memerlukan kajian.
Argumen pada paragraf diatas tersebut membantah tudingan Badan Pemeriksa Keuangan yang menuding Ahok bersalah karena langsung main tunjuk saat pembelian lahan Sumber Waras. Yang jadi pertanyaan besarnya saat ini adalah aturan atau regulasi mana, pasal berapa dan UU nomor berapa dan tahun berapa yang membuat Badan Pemeriksa Keuangan dengan tendesiusnya menuding Ahok bersalah dalam kasus Sumber Waras? Jika mengacu pada Peraturan Presiden No 71/2012, Maka regulasi itu sudah tak berlaku lagi karena ada pasal menyangkut pengadaan tanah yang sudah direvisi.
Sebagaimana diketahui bahwa luas lahan Sumber Waras adalah di bawah 5 hektare, yakni 3,6 hektare, itu artinya tidak ada kesalahan yang dilakukan Ahok dalam keputusannya yang langsung menunjuk pembelian terhadap lahan Sumber Waras, karena keputusan Ahok tersebut berdasarkan landasan hukum yang kuat yakni Peraturan Presiden No 40/2014 tentang Pengadaan Tanah. Lalu tudingan Badan Pemeriksa Keuangan yang juga menuding bahwa Ahok juga bersalah karena lokasi lahan Sumber Waras yang seharusnya menurut BPK berada di Jalan Tomang Utara bukan di Jalan Kyai Tapa juga adalah tudingan yang tak masuk akal.
Karena tudingan BPK yang menyebut salah lokasi dari lahan Sumber Waras akan dibantah dengan argumentasi antara lain bahwa yang mengeluarkan sertifikat tanah terhadap lahan Sumber Waras adalah Badan Pertahanan Nasional pada 27 Mei 1998 dan berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Dari sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Nasional berarti sudah dapat disimpulkan bahwa lahan Sumber Waras itu sudah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) sejak tahun 1998 dan berada di Jalan Kyai Tapa. Dan dimana logikanya jika Badan Pemeriksa Keuangan ingin menuding Ahok bersalah lantaran salah lokasi lahan Sumber Waras?
Tidak masuk akal sehat dan terlalu gila, bahkan kodok pun tertawa terbahak-bahak jika BPK menyebut salah lokasi pada lahan Sumber Waras. Ini jelas-jelas mengacu pada sertifikat tanah milik lahan Sumber Waras yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional pada tahun 1998. Meragukan lokasi lahan Sumber Waras, itu artinya Badan Pemeriksa Keuangan juga makin terlihat kepentingannya dalam kasus ini. Toh, kalaupun sertifikat kepemilikan atas Hak Guna Bangunan itu sudah berakhir, Sekarang (2016) sudah bisa diperpanjang lagi untuk 20 tahun kedepan.
Maka argumen ini sudah sekaligus membantah tudingan salah lokasi terhadap lahan Sumber Waras oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu yang perlu dipahami pula bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) beralih atau hanya dapat dialihkan dengan cara: Jual-beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah termasuk melalui pewarisan. Dalam kasus lahan Sumber Waras jelas bahwa Hak Guna Bangunannya sudah beralih ke pemerintah Provinsi DKI Jakarta seiring dengan pembayaran Rp. 755 Miliar. walaupun tudingan BPK yang menuding Ahok bersalah karena membeli harga tanah yang lebih mahal dari yang pernah ditawar PT.Ciputra Karya Utama sebesar Rp.564 Miliar adalah tetap tidak memiliki alasan hukum yang kuat.
Menjadi tidak beralasan secara hukum karena NJOP setiap tahun itu mengalami peningkatan. Penentuan NJOP Rumah Sakit Sumber Waras adalah Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan yang menyebutkan bahwa pajak dari lahan Sumber Waras adalah mengikuti NJOP dari Jalan Kyai Tapa. Itu artinya tudingan yang ditudingkan BPK kepada Ahok adalah sangat tendesius. BPK silakan menanyakan hal-hal yang lebih spesifik lagi kepada Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan jika masih tetap ngotot Ahok yang salah dalam pembelian lahan Sumber Waras.