[caption caption="Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar (Dok: Detik.com)"][/caption]Meskipun saat ini Koalisi Merah Putih (KMP) sudah dinyatakan bubar terhitung 4 Februari 2016, tetapi pertarungan politik pemerintahan Jokowi-JK belumlah usai. Dalam Rakernas Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memunculkan beberapa isu utama, antara lain Penghapusan DPD, Pilgub melalui DPRD dan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Tentunya beberapa isu utama yang diangkat dalam Rakernas Partai Kebangkitan Bangsa yang berlangsung hingga hari ini, 06/02/2016, perlu diantisipasi, mengingat isu utama yang diangkat oleh PKB ini berpotensi menimbulkan kegaduhan-kegaduhan dalam pemerintahan Jokowi-JK sehingga kembali menegaskan bahwa pertarungan politik Jokowi dalam kabinetnya belumlah usai.
Dikatakan belum usai karena salah satu isu dari tiga isu utama yang diangkat oleh PKB yakni soal keinginan PKB agar Pemilihan Gubernur melalui DPRD. Sebagaimana yang diketahui sebelumnya bahwa usulan agar pemilihan Gubernur dikembalikan pada DPRD pernah dilakukan sebelumnya saat Susilo Bambang Yudhoyono masih memimpin negeri ini, tetapi usulan tersebut menimbulkan kegaduhan yang luar biasa sehingga membuat Yudhoyono saat itu terpaksa mengeluarkan Perpu akibat gentingnya situasi akibat usulan yang disetujui oleh banyak fraksi di DPR ini.
Pemilihan Gubernur melalui DPRD tidaklah tepat karena jika sistem pemilihan Gubernur dikembalikan pada DPRD ini artinya adalah kemunduran demokrasi bagi Indonesia. Demokrasi negeri ini sudah mulai menunjukkan sisi-sisi kedewasaannya sehingga partisipasi rakyat dalam menentukan Gubernur pada provinsinya adalah mutlak , harus diperkuat dan tidak boleh dicabut kewenangan konstitusi warga negara yang juga memiliki hak-hak konstitusi sebagaimana yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi tertinggi, UUD 1945. Usulan mengembalikan Pilgub kepada DPRD harus diantispasi oleh Jokowi, karena ini bisa jadi bom waktu bagi partai politik pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Terlebih lagi Pilgub melalui DPRD sudah pasti akan menjadi sarana tawar-menawar agar dipilih DPRD sebagai Gubernur dan ini malah makin tidak baik bagi demokrasi Indonesia.
Selain itu juga usulan Partai Kebangkitan Bangsa agar Pemilihan Gubernur dikembalikan pada DPRD adalah harus ditolak karena usulan ini sangat berpotensi menimbulkan kegaduhan baru dalam pemerintahan Jokowi-JK. Messkipun Pilkada Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat menelan biaya yang sangat besar, hal ini tidak dapat dipungkiri, karena sebagai negara demokrasi yang terpenting adalah kualitas calon yang dihasilkan dari Pilgub tersebut. Terhadap partai politik pun seharusnya memperkuat kembali program kaderisasi dan memperketat syarat bergabung ke partai politik, hal ini tujuannya adalah agar partai politik bisa mendapatkan kaulitas kader yang berintegritas, berkapasitas, dan berkapabilitas termasuk pula kembali pada cita-cita awal atau tujuan awal dari didirikannya partai politik yakni melahirkan calon-calon pemimpin berkelas.
Lontaran-lontaran liar dari PKB ini perlu sekali untuk diantisipasi oleh Jokowi mengingat saat ini hampir bisa dipastikan sudah tidak ada lagi partai oposisi terlebih lagi Gerindra sudah menyatakan Koalisi Merah Putih (KMP) sudah bubar. Itu artinya bubarnya Koalisi Merah Putih ini juga bisa menimbulkan kegaduhan baru dalam perpolitikan Indonesia, hal ini bukan mengada-ada, karena sebelumnya PDIP juga sudah berwacana untuk kembali mengamandemen UUD 1945 yakni menjadikan presiden sebagai mandataris dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekaligus kembali memberikan kewenangan MPR untuk menyusun kembali GBHN (Garis-garis besar haluan negara).
Isu mengembalikan pemilihan Gubernur kepada DPRD ini bisa jadi bom waktu bagi partai-partai politik yang tergabung dalam kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK. Menjadi bom waktu karena sewaktu-waktu dapat diledakkan agar tujuan untuk melindungi kadernya yang terancam dari kocok ulang kabinet bisa terwujud. Terlebih lagi jika ingin dicermati isu ini dimunculkan Partai Kebangkitan Bangsa setelah adanya isu kocok ulang kabinet , penilaian dari Kementrian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi, terutama menyangkut soal menteri dari PKB yang paling kena sorot akibat kinerjanya selama ini. Selain itu langkah antisipasi Jokowi untuk mencegah timbulnya kembali kegaduhan dai partai politik pendukung pemerintahan, langkah lain yang juga perlu diantisipasi oleh Jokowi adalah mengenai persoalan usulan pembubaran DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Kalau DPD dibubarkan, Maka secara otomatis akan mengamandemen UUD 1945, Karena keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD.
Usulan ini sejalan dengan usulan PDIP, namun bereda konteks. Jika PDIP mengusulkan agar UUD 1945 diamandemen untuk kelima kalinya, Maka usulan pembubaran DPD juga bermakna sama dengan usulan PDIP yakni mengamandemen UUD 1945, Karena untuk dapat membubarkan DPD perlu dilakukan amandemen UUD 1945, dan hal ini akan menimbulkan kegaduhan politik yang amat sangat luar biasa, karena pada saat pembahasan amandemen oleh MPR bisa dipastikan akan terjadi atrik menarik kepentingan politik yang hanya memenuhi keinginan partai politik saja bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Memberikan kewenangan MPR untuk menyusun kembali GBHN sama artinya dengan membuat MPR kembali menjadi lembaga negara tertinggi dan secara otomatis Presiden akan berada langsung dibawah MPR dan ini akan menjadi kemunduran demokrasi bagi negeri ini jika saja PDIP tetap memaksakan kehendaknya.
Meskipun usulan PDIP agar MPR diberikan kembali kewenangannya untuk menyusun GBHN hal ini mengandung dua unsur. Pertama. Penyusunan arah pembangunan untuk jangka panjang sebagaimana yang diinginkan oleh PDIP adalah baik untuk pembangunan Indonesia kedepan, karena mulai dari Presiden hingga Bupati akan mengikuti arah pembangunan yang sudah dituangkan dalam GBHN tersebut, dan ini adalah bagian dari unsur positif. Sedangkan unsur keduanya disebut sebagai unsur negatif, karena usulan PDIP agar MPR diberikan kembali kewenangannya untuk menyusun GBHN adalah sarat akan kepentingan politik, dimana akan terjadi tarik-menarik kepentingan politik yang amat luar biasa sehingga menimbulkan kegaduhan yang tak terbendung, hal ini wajar karena setiap partai politik memiliki agenda terselubung yang tak pernah kita ketahui ketika sudah masuk ke dalam urusan soal kekuasaan.
Terakhir, yang perlu diantispasi oleh Jokowi adalah perlu menimbang kembali Golkar dan PKS jika ingin mengajak ketiga partai itu masuk ke dalam kabinet kerja. Karena secara historis, keberadaan Golkar saat Yudhopyono memerintah, Golkar lebih menjadi anak nakal ketimbang anak baik-baik. Begitupun dengan PKS yang menjadi anak nakal sama halnya dengan Golkar. Pengalaman masa pahit yang dirasakan oleh SBY haruslah kembali diperhitungkan secara cermat dengan kalkulasi politik yang cermat dan teliti pula, hal ini untuk menghundari agar ketiga partai politik itu tidak berkoalisi setengah hati dengan pemerintah juga untuk mencegah agar tidak bermain dua kaki di dalam pemerintahan.
Pertimbangkan untuk tidak memberikan kursi kepada Golkar dan PKS adalah pilihan tepat yang harus dipilih oleh Jokowi. Menjadi tepat karena untuk menghindari politik dua kaki, termasuk kembali bertindak sebagai oposisi sebagaimana yang pernah dipraktekkan dua partai ini pada saat SBY masih memimpin negeri ini. Koalisi setengah hati juga harus diwaspadai, karena jika Jokowi tak mampu mengantisipasi Koalisi setengah hati, maka tidak menutup kemungkinan partai-partai yang baru bergabung ini berpijak pada dua kaki. Disatu sisi sebagai pendukung pemerintah dan disatu sisinya lagi memposisikan diri sebagai oposisi yang selalu mengkritik habis-habisan program pemerintah. Langkah antisipasi sangat perlu digalakkan oleh Jokowi untuk menghindari bom waktu karena Golkar juga mendukung agar Pilkada dikembalikan pada DPRD yang mana isu ini dimunculkan Golkar Munas Bali saat Rapimnas 23-25 Januari 2016 lalu.
Pembubaran DPD sebagaimana yang diusulkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dikomandoi oleh Cak Imin- Panggilan Muhaimin Iskandar ini juga berpotensi kembali memanaskan situasi politik tanah air, karena untuk dapat membubarkan DPD tidak hanya akan mengamademen UUD 1945 yang merupakan konstitusi negara, melainkan juga harus pula merevisi UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Tentu saat ini bukalah saat yang tepat jika ingin mengamandemen UUD 1945 dan UU No 17/2014 tentang MD3, karena saat ini pemerintah tengah berfokus pada pembangunan ekonomi nasional, yang mana jika amandemen juga revisi dilakukan, hal itu bisa dipastikan akan menimbulkan kegaduhan politik lagi.