Lihat ke Halaman Asli

[Bom Sarinah] Perlukah UU Terorisme Direvisi?

Diperbarui: 17 Januari 2016   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi terorisme (Dok: Aktual.com)"][/caption]

Pasca penembakan dan peledakan bom yang terjadi dikawasan bisnis ibukota, Sarinah, MH Thamrin, Jakarta Pusat. Kini wacana untuk merevisi UU No 15/2003 tentang Teroris menyeruak permukaan publik. Namun jika benar wacana tersebut benar-benar direalisasikan yakni dengan merevisi UU No 15/2003 tentang Teroris, revisi tersebut hanya memberikan efek jangka pendek dan tak akan mampu mengcover semua bentuk teror yang bisa saja terjadi di negara ini. Yang harus dilakukan oleh pemerintah bukanlah merevisi UU No 15/2003 tentang Terorisme, melainkan terus memperkuat kinerja Badan Intelijen Negara.

Karena bisa dikatakan bahwa Intelijen adalah ujung tombak bagi pertahanan dalam negeri di sebuah negara. Ada beberapa tugas pokok yang membuat Badan Intelijen Negara disebut sebagai ujung tombak bagi pertahanan dalam negeri. Yakni memberikan analisa yang menyangkut dengan keamanan dalam negeri, melakukan penyelidikan terkait adanya indikasi yang menyangkut teror, melakukan pengamanan dalam hal-hal tertentu bahkan intelijen pun bisa menangkap seseorang yang diduga kuat terkait dengan jaringan teror, Tetapi ini tidak bisa dilakukan oleh Badan Intelijen Negara melainkan penangkapan ini harus dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia atas permintaan dari intelijen.

Penangkapan tersebut bersifat sementara karena seusai ditangkap, Maka intelijen dapat langsung bekerja yakni untuk melakukan / menggali informasi yang informatif dan komperhensif untuk mengetahui benar atau tidaknya seseorang tersebut termasuk dalam jaringan kelompok teroris sebagaimana sejak awal yang di indikasikan oleh intelijen tersebut. Dalam UU No 17/2011 tentang Badan Intelijen Negara, BIN sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menangkap maupun menahan seseorang yang diduga  atau di indikasikan terkait jaringan teror.

Badan Intelijen Negara (BIN) hanya dapat melakukan penangkapan yakni dengan berkoordinasi dengan kepolisian agar segera menangkap seseorang yag diduga kuat terlibat atau terindikasi masuk dalam jaringan teroris tersebut. Karena intelijen berdasarkan UU No 17/2011 tentang Badan Intelijen Negara , BIN sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan.

Sehingga wacana revisi UU No 15/2003 tentang Terorisme yakni dengan mengakomodir pasal agar intelijen bisa menangkap dan menahan seseorang yang diduga kuat terkait jaringan kelompok teroris tertentu tidaklah tepat, karena sebenarnya, intelijen cukup menguatkan kinerjanya saja dan lebih bersinergi lagi dengan kepolisian yang memang memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan tersebut.

Wacana agar intelijen mendapat kewenangan yang lebih besar hanyalah akan menimbukan ketakutan-ketakutan di tengah-tengah masyarakat, Karena jika nantinya wacana tersebut terealisasi dengan terwujudnya revisinya UU No 15/2003 tentang Terorisme , Maka setelah direvisi dan disahkan, bisa dipastikan bahwa setiap intelijen bisa menangkap dan menahan seseorang langsung tanpa perlu berkoordinasi lagi dengan kepolisian, Ini bisa dilakukan karena kewenangan yang dimiliki inteijen sudah sama dengan kepolisian dalam hal penangkapan dan penahanan. Dan jika benar nantinya UU No 15/2003 tentang Terorisme direvisi, Maka ini bisa dipastikan akan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, pasalnya siapa saja yang dianggap atau dicurigai bagian dari teroris bisa langsung ditangkap, dan sesungguhnya ini tak baik bagi penegakan hukum di Indonesia.

Terlebih lagi saat ini sudah memiliki badan yang menangani teroris, terutama Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Kemudian polisi juga sudah memiliki Detasemen Khusus 88 Anti-teror hingga tim Gegana pun sudah dimiliki oleh polisi. Dan jika mau jujur sebenarnya produk hukum yang menyangkut dengan tindak pidana terorisme yang disebut lex specialis karena berada di luar KUHP ini juga sudah cukup untuk menindak segala bentuk, karena yang dbutuhkan intelijen saat ini hanyalah lebih bersinergi lagi saja dengan kepolisian agar pertahanan dalam negeri tetap aman dari teror yang dapat terjadi dimana saja, kapan saja.

Karena sesungghnya pola teror kini sudah berubah yakni tidak lagi melakukan teror secara tertutup tetapi sudah dilakukan degan cara terbuka sebagaimana yang kini banyak terjadi di negara-negara di dunia. dan UU No 15/2003 tentang Terorisme dirasa belum tepat untk direvisi, yang dibutuhkan saat ini hanyalah satu, yakni sinergi antara BIN-Polri saja.

Dan untuk mencegah warga negara Indonesia yang baru saja pulang dar Suriah, dikhawatirkan merencanakan aksi teror, Maka, pemerintah bisa langsung mengeluarkan/menerbitkan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang substansinya adalah memerintahkan polisi untuk menahan semua warga negara Indonesia yang baru pulang dari Suriah, yakni bekerjasama dengan imigrasi seluruh Indonesia, agar teror bisa dicegah. Tujuan dari penahanan tersebut adalah hanya untuk memastikan saja apakah sudah terdoktrin kelompok radikal ISIS di Suriah. Dan setelah diperiksa secara intensif ternyata tidak ada indikasi sudah terdoktrin oleh ISIS, polisi sudah harus melepas yang diperiksa tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline