[caption caption="Rudal anti-tank yang dikirim AS untuk melawan Rusia di Suriah (Dok: Reuters.com)"][/caption]Ketegangan politik di Timur Tengah kian tak terbedung setelah bergabungnya Rusia untuk membela pemerintahan Presiden Bashar Al Assad, atas perintah langsung Presiden Rusia, Vladimir Putin. Situasi politik di Tmur Tengah kian tak menentu, setelah Saudi menegaskan bahwa pihaknya mendukung penuh kelompok pemberontak Suriah yang ingin menggulingkan Presiden Suriah, Bashar Al Assad dari kursi kekuasaanya. Dan hal ini bertolakbelakang dengan keputusan politik Presiden Rusia, Valdimir Putin, yang secara terang-terangan menegaskan mendukung dan membela rezim Assad dari kepungan ISIS yang terus menggempur wilaya Suriah, dan telah menguasai 70% dari seluruh wilayah kekuasaan rezim Assad.
Penegasan yang kembali ditunjukkan oleh Saudi kian menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan paham politik yang sangat jauh diantara dua kelompok, yang masing-masing memiliki kekuatan untuk membela Assad bagi Rusia, dan menggulingkan Assad bagi pendukung oposisi. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan lagi, terkait kondisi perpolitikan terkini di Timur Tengah adalah soal Amerika Serikat yang telah memasok senjata yang melimpah dari AS. Rudal yang dipasok, diantaranya, rudal anti-tank. Hal tersebut semakin menimbulkan kekhawatiran yang mendalam terkait masa depan Suriah dalam penyelesaian konflik, yang diyakini tak mustahil terselesaikan, lantaran serangan Rusia ke Suriah bukannya menurunkan tensi ketenganan di Suriah, melainkan semakin meningkatkan tensi politik yang tinggi, serta menunjukkan adanya persaingan yang sengit antara Rusia-AS dalam membela kepentingan masing-masing. Ancaman Inggris yang akan menembak jatuh jet-jet Rusia juga kian membuat panik dunia, lantaran potensi meletusnya perang di Suriah semakin besar.
Tak hanya soal AS yang telah memasok rudal anti-tank untuk menghadapi militer Rusia, AS juga telah menerjunkan bantuan 50 ton amunisi untuk pemberontak Suriah di wilayah Suriah Utara. Bantuan besar-besaran tersebut dilakukan setelah serangan Rusia untuk mendukung Presiden Bashar Al Assad semakin tak terbendung oleh militer AS. Kebijakan AS ini terlihat sangat janggal, sebab pekan lalu, Pentagon memutuskan untuk berhenti melatih pemberontak di Suriah. Alasannya, pemberontak menolak melawan kelompok militan ISIS,dan hanya fokus melawan rezim Assad. Berangkat dari alasan tersebut, sesungguhnya dapatlah disimpulkan bahwa, yang menjadi dasar utama dikirimkannnya bantuan secara besar-besaran, dalam hal ini 50 ton amunisi ke Suriah oleh AS, adalah untuk mencapai tujuan yang memang selama ini sudah diincar oleh kelompok oposisi, yaitu menggulingkan Presiden Assad, dengan melakukan berbagai upaya untuk melawan Rusia yang kini resmi mengobarkan perang di Suriah.
Jika memahami lebih jauh terkait tindakan AS, mulai dari mengirim rudal anti-tank hingga memasok 50 ton amunisi untuk kepentingan AS di Suriah, maka dapat terbaca dengan jelas bahwa, apa yang dilakukan oleh AS saat ini adalah dapat menimbulkan kekacauan dunia, lantaran tindakan brutal AS yang makin hari, makin tak terima dengan bergabungnya Rusia dalam kelompok Assad, dapat menimbulkan percikan perang proxy habis-habisan.
Pertentangan-pertentangan menyusul keputusan politik yang dibuat oleh Presiden Putin terus melebar, setelah AS menambah kekuatannya dengan memasok rudal anti-tank hingga mengirim 50 ton amunisi. Kini pertentangan lain datang dari NATO. Bhakan, NATO mengancam akan membantu Turki secara habis-habisan untuk melawan Rusia jika diperlukan, hal ini disampaikan langsung oleh Sekjen NATO, Jens Stoltenberg. Pernyataan Sekjen NATO tersebut, kian memanaskan suhu politik di Timur Tengah (Referensi: Sindonews.com, 13/10/2015). Bahkan dalam kesempatan yang sama pula, NATO memperingatkan Rusia, agar segera menghentikan serangannya di Suriah. NATO juga menyebut bahwa, secepatnya harus dilakukan transisi pemerintahan, agar semua konflik di Suriah bisa berakhir. Pernyataan dari Sekjen NATO tersebut jelas semakin memanaskan situasi politik di Timur Tengah.
Situasi di Suriah tak ubahnya seperti medan peperangan yang sesungguhnya, setelah Kelompok al-Nusra di Suriah menyerukan para militan radikal di Kaukasus untuk menyerang warga sipil dan tentara Rusia. Seruan tersebut sebagai aksi balas dendam atas serangan Rusia di wilayah Suriah.
‘’Jika tentara Rusia membunuh rakyat Suriah, maka kemudian bunuhlah orang-orang mereka. Dan jika mereka membunuh tentara kami, maka bunuhlah tentara mereka. Mata ganti mata,’’ kata kepala Al-Nusra, Abu Mohamed al-Golani, dalam sebuah rekaman audio yang dirilis hari senin. (Referensi: Al Arabiya), Selasa, 13/10/2015.
Dalam situasi yang kian mencekam di Rusia, dunia Internasional sebaiknya mendesak PBB untuk segera menegai konflik yang berkepanjangan di Suriah, yang telah menewaskan ratusan ribu rakyat Suriah, sejak konflik dan kedatangan ISIS beberapa tahun yang lalu. Namun, jika melihat kondisi terkini di Suriah, pasca bergabungnya Rusia dalam kelompok pendukung pemerintahan Presiden Bashar Al Assad, rasanya sangat sulit untuk segera menurunkan tensi politik antar negara yang bersaing mempertahankan dan berusaha menjungkirbalikkan Assad dari kursi Suriah-1.
Adapun, saat ini harus diakui secara gamblang dan jujur, bahwa peran PBB dalam usahanya menyelesaikan konflik dibanyak negara, terkesan hanya manis dibibir belaka, sebab tak ada upaya konkrit yang dilakukan oleh PBB untuk mengatasi konflik diberbagai negara, khusunya negara-negara di Timur Tengah yang kini telah menjadi bagaikan medan peperangan. Namun, situasi buruk di Suriah diyakini tidak akan mengurangi semangat Rusia dalam membantu Presiden Assad agar tidak terguling seperti sahabanya di Mesir, Mohhamed Mursi. Presiden Putin diyakini dalam waktu dekat akan kembali menambah pasukannya serta meningkatkan eskalasi serangan untuk melawan ISIS, yang membuat dunia AS dan kelompok pendukung oposisi lainnya mengalami kepanikan.
Meskipun peran PBB sangatlah tidak terlihat, hingga kini penulis masih merasakan kebingungan yang tak pernah akan terjawabkan terkait negara-negara yang ingin menggulingkan Presiden Assad tersebut. sebut saja, AS, Turki, Belanda, Belgia, Qatar, Saudi Arabia, Denmark, Yordania, Kanada, dan Prancis. Negara-negara tersebut sebenarnya adalah negatra besar dan sangat dihormati oleh dunia internasional, namun setan apa yang merasuki sebagian negara –negara maju tersebut hingga memutuskan untuk memperburuk citra negara-negara tersebut didunia internasional. Khusunya, Saudi Arabia yang tidak mencerminkan sikap prikemanusiaan atas tindakan brutalnya yang ingin mengambilalih tampuk kekuasaan yang saat ini dipegang erat oleh Assad, Presiden Suriah yang didukung oleh banyak negara, termasuk Rusia dibelakangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H