Sejak harimau Jawa (panthera tigris sondaica) atau Javan Tiger dinyatakan punah pada 1980-an akibat perburuan liar dan pembukaaan lahan pertanian di area hutan di seluruh wilayah Pulau Jawa mengakibatkan habitat ekologi satwa khususnya Harimau Jawa semakin sempit. Tercatat hutan di Pulau Jawa hanya tinggal 24% akibat tidak berjalannya proses transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah hingga mengakibatkan gelombang urbanisasi yang setiap tahun semakin besar dengan jumlah penduduk sebesar 151,6 juta jiwa (2020) artinya kepadatan penduduk dipulau jawa sebesar 1.121 jiwa/km2 yang artinya sebesar 54,2% Penduduk Indonesia 279,2 juta jiwa (2024) membuat Pulau jawa amat sangat sesak, pemerataan penduduk tidak berjalan maksimal dan pada akhirnya ketimpangan kesejahteraan di Indonesia memiliki GAP yang sangat tinggi antara di Pulau Jawa dengan Pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Dengan besarnya Urbanisasi yang terjadi di Pulau Jawa, menimbulkan permasalahan kompleks, salah satunya terganggunya habitat hewani dan hayati yang dimana pembukaan lahan hutan untuk direstitusi Menjadi lahan produktif seperti lahan pertanian membuat area ekosistem binatang yang ada di hutan semakin menyempit, ditambah dengan maraknya perburuan ilegal binatang-binatang khususnya yang masuk dalam kategori Hewan Endemik Indonesia yang di lindungi oleh Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya belum secara signifikan memberikan dampak positif dalam menghentikan kegiatan perburuan liar, pengalihfungsi kawasan hutan dan menghentikan pasar gelap perdagangan satwa liar yang di lindungi karena minimnya sarana pengawasan lapangan dan hukuman pidana yang dinilai masih sangat ringan menyebabkan perburuan ilegal semakin marak ditambah lagi hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menemukan sehelai rambut di kawasan hutan di wilayah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang telah di teliti DNA mya ternyata sehelai rambut milik Panthera Tigris Sondaica atau lebih dikenal dengan nama Harimau Jawa yang telah dinyatakan punah pada 1980 dan 2003 lalu oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) and Natural Resources Red List menyatakan statusnya "extinct" atau punah.
Namun pernyataan IUCN dan NRRL berbanding terbalik dengan pernyataan dari Didik Raharyono seorang Peneliti Harimau Jawa dan Pegiat Organisasi Peduli Karnivora Jawa (PKJ) yang selama bertahun-tahun mas Didik dan Tim melakukan ekspedisi pencarian Harimau Jawa di berbagai lokasi hutan di wilayah Jawa dengan mengumpulkan informasi dari warga sekitar perbatasan hutan yang pernah melihat sosok harimau jawa, jejak tapak kaki, feses, bulu/rambut hingga bukti foto untuk melindungi keberadaan dan eksistensi Harimau Jawa yang telah dinyatakan Punah sehingga tidak adanya regulasi hukum mengenai perburuan Harimau Jawa dikarenakan status punah tersebut.
Penelitian pencarian eksistensi Harimau Jawa ini berawal dari laporan seorang warga dan aktivis konservasi bernama Ripi Yanur Fajar yang melihat seekor harimau jawa di perkebunan dekat Desa Cipendeuy, Sukabumi Selatan, Jawa Barat pada 18 Agustus 2019 dan pada saat kembali berkunjung ke lokasi tersebut pada 27 Agustus 2019, ditemukan sehelai rambut, yang diduga milik harimau. Helai rambut itu berada di pagar. Di sekitarnya juga ada jejak kaki dan bekas cakaran. Sampel rambut diserahkan ke staf geologi yang melakukan penelitian di kawasan tersebut. Lalu, diteruskan ke Balai Konservasi Alam (BKSDA) jawa Barat. Pada 4 Maret 2022, BKSDA menyerahkan sampel rambut ke BRIN untuk analisis genetik.
Tim riset BRIN juga melakukan wawancara dengan Ripi yang melihat harimau tersebut pada 15-19 Juni 2022. Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Wirdateti, mengatakan hasil perbandingan antara sampel rambut harimau di Sukabumi menunjukkan kemiripan sebesar 97,06 persen dengan harimau sumatera dan 96,87 persen dengan harimau benggala, "Sedangkan spesimen Harimau Jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) memiliki 98,23 persen kemiripan dengan harimau sumatera."
Sang Raja Hutan Jawa kembali menunjukkan eksistensi setelah 40 tahun dinyatakan punah dan sekian lama keberadaannya seolah hanya sebagai mitos belaka, setidaknya di era modernis saat ini dengan dukungan teknologi, pemerintah melalui lembaga-lembaga yang berwenang mengurus flora dan fauna di Indonesia dan bekerja sama dengan lembaga pencinta alama harus mampu mengeksplorasi lebih dalam lagi dan melakukan riset terkait Hewan Endemik Indonesia khususnya Harimau Jawa di hutan-hutan yang berpotensi menjadi habibat Harimau Jawa dan tentunya pos anggaran atas program konservasi serta riset tersebut harus di tingkatkan guna menyelamatkan hewan endemi Indonesia dari kepunahan yang akan menjadi kerugian bagi Bangsa Indonesia.
Ricky S, Hafiz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H