Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib merupakan kelanjutan dari Pesantren Darul Mua'allimin yang di pimpin oleh H. Syekh Abdul Malik. Darul Mu'allimin didirikan pada tahun 1923, dengan menggunakan sistem pendidikan halaqah dan klasikal. Pesantren ini hanya diperuntukan bagi santri Putra saja.
Pesantren yang berdiri di bumi Sari Madu, sebenarnya telah banyak mengalami kemajuan, baik santri maupun alumni nya yang telah tersebar di berbagai wilayah. Namun ketika Jepang masuk ke wilayah tersebut pada 21 Maret 1942 membuat kegiatan Darul Mualimin berhenti total. Para pendidik dan Santri terpecah-belah akibat Pertempuran yang tak bisa dihindari.
Kurang lebih dalam waktu 6 tahun kegiatan Pesantren Darul Mualimin berhenti. H. M. Nur Mahyudin salah seorang murid dari Syekh Abdul Malik mengambil prakarsa untuk menghidupkan kembali pondok pesantren. Iya kemudian mengumpulkan sejumlah ulama dan tokoh masyarakat desa Muara Uwai, untuk membicarakan kemungkinan berdirinya pondok pesantren. Iya melihat kehadiran pondok pesantren tersebut sangat banyak manfaatnya bagi generasi muda Islam di wilayah tersebut.
Setelah melalui musyawarah akhirnya pada tanggal 11 Januari 1948 disepakati untuk menghidupkan kembali pondok pesantren tersebut dengan nama Pesantren Daarun Nahdlah Thawalib bangkinang (PPDN-TB).
Pendirian tersebut ditandai dengan penerimaan santri baru untuk jenjang Ibtidaiyah. Lalu pada tanggal 18 Agustus 1948 pondok pesantren tersebut membuka jenjang pendidikan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Sejarah kembali berulang tampaknya tepat sekali untuk melukiskan perjalanan Daarun Nahdhah.
Belum genap Pesantren tersebut umur 1 tahun meletuslah agresi Belanda pada tanggal 31 September 1948. Agresi Belanda itu membuat para guru dan murid terpaksa mengungsi. Bahkan tak sedikit pula yang ikut bergerilya dalam mempertahankan kemerdekaan, tercatat seorang guru pesantren tersebut tewas di tangan Belanda.
Setelah masa agresi Belanda selesai pada tanggal 27 Desember 1950, K. H. Nur Mahyudin ali mengumpulkan para guru dan murid untuk melanjutkan kembali kegiatan pendidikan di Pesantren Daarun Nahdhah.
Ujian dan tantangan yang dihadapi oleh K. H. Nur mahyudin tak pernah berhenti. Ketika kasus politik terjadi pada tahun 1955 di pesantren tersebut juga kena imbasnya. Terjadi perbedaan afiliasi politik antara pengurus pesantren dengan pemilik tanah tempat pondok pesantren berdiri. Perbedaan itu membawa masalah tersendiri dan akhirnya bangunan pesantren yang masih sederhana diboyong dan dipindahkan ke daerah lain.
Lokasi tempat berdirinya Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang merupakan lokasi yang amat strategis karena selain berada di tengah ibukota Kecamatan pesantren ini juga berlokasi tidak jauh dari Sungai Kampar.
Dari segi ekonomi masyarakat tergolong masyarakat agraris dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Masyarakat sekitar merupakan penyangga utama keberadaan pesantren dengan berbagai kontribusi material dan moril bagi pengembangan Pesantren antara lain berupa lahan tanah baik yang dihibahkan atau diwakafkan untuk perluasan bangunan pesantren.